Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta meminta pemerintah segera membekukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Langkah itu, kata dia, mendesak dilakukan untuk menyelamatkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tanah Air. Dia mengatakan, industri TPT nasional kini sudah semakin hancur. Salah satu buktinya, kata dia, 30 pabrik tekstil kini sudah tutup, sejak kuartal III tahun 2022.
Menurutnya, penyelamatan industri TPT nasional tak bisa lagi hanya dengan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
"Rantai integrasi industri TPT sudah rusak. Tindakan ekstrem diperlukan. Sudah lama terjadi pembiaran. 10 tahun para mafia impor ini menikmati pasar domestik," kata Redma kepada CNBC Indonesia, Kamis (7/11/2024).
"Untuk setop barang impor ilegal, bekukan dulu Bea cukai dan lakukan penyelidikan menyeluruh pada yang terindikasi terlibat dalam persekongkolan importasi ilegal," tambah Redma.
Dia memperingatkan, kehancuran industri TPT nasional yang semakin sistemik.
Hal itu disampaikan merespons ancaman yang tengah mengintai industri rantai menengah dan hulu TPT. Menyusul penutupan pabrik-pabrik tekstil hilir, termasuk garmen.
Salah satunya adalah PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT).
Mengutip Informasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024), PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT) yang memiliki pabrik di Cicalengka, Bandung sedang menghadapi gugatan dari banyak pihak. Termasuk oleh PT Hengsheng Plastic International pada Senin (28/10/2024) dengan nomor perkara 326/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN Niaga Jkt.Pst.
Di sisi lain, Bursa Efek Indonesia (BEI) pun telah menghentikan perdagangan efek SBAT pada 18 September 2024. Alasannya, SBAT tak memenuhi kewajiban perusahaan dan tak ada kepastian kelangsungan usaha perseroan.
"Pabriknya masih jalan tapi utilisasinya berapa persen kita belum tahu. Dia bukan anggota APSyFI. Tapi, dia produsen benang pintal yang menggunakan bahan baku poly dan rayon produksi anggota APSyFI," ungkap Redma.
Karena itu, lanjut dia, jika kemudian SBAT tak mampu lagi menyelesaikan persoalan keuangannya dan tutup, akan memicu efek domino ke hulu.
"Buyer kita (industri hulu) akan berkurang lagi," ucap Redma.
Karena itu, cetusnya, pemerintah harus melakukan tindakan ekstrem segera.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI) Benny Soetrisno juga meminta pemerintah segera bergerak cepat mengatasi tekanan beruntun yang tengah menghantam industri TPT nasional. Jika tidak, ancaman Indonesia berubah menjadi pengimpor TPT bukan tak mungkin terjadi.
Benny Soetrisno mengatakan, penyebab petaka sistemik yang terjadi di industri TPT nasional adalah membanjirnya barang-barang impor asal China, baik legal maupun ilegal.
"Produk hilir dibanjiri impor dari China, baik legal maupun ilegal. Sehingga industri hilir tekstil banyak yang tutup dan tidak membeli bahan baku dari industri hulu dalam negeri," kata Benny kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (5/11/2024).
"Kalau dibiarkan, akan tidak ada lagi industri TPT di negeri ini. Yang ada tinggal konsumen TPT," tukasnya.
Dia mengusulkan 3 jurus utama yang dinilai strategis akan mencegah keruntuhan industri TPT nasional yang kini sudah sistemik. Di mana, industri TPT yang tumbang tak lagi di hilir, tapi mulai menular ke pabrik yang semakin hulu.
Usulan itu mencakup evaluasi kebijakan dan aturan perdagangan berlaku, termasuk FTA yang diikuti Indonesia. Lalu, penataan dan pengawasan impor. Juga, program untuk membantu dan mendukung keuangan perusahaan.
(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Selamatkan Sritex & Industri Tekstil RI, Ini PR Menteri Prabowo
Next Article Daya Beli Orang RI Anjlok, Terlihat dari Penjualan Seragam Sekolah