Susah Tarik Pembeli Baru, Ecommerce Punya Cara Baru Cari Cuan

3 weeks ago 14

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan ecommerce ternyata sudah susah menarik pengguna baru. Kini, platform belanja online harus berlomba merayu pelanggan setia mereka untuk lebih sering belanja.

Berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2024 yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company menyatakan perusahaan ecommerce di Asia Tenggara kini harus mencari titik keseimbangan antara upaya menggenjot pendapatan dan membukukan profit.

"Para pemain utama mencapai keuntungan lewat kampanye [pemasaran] yang disiplin dan optimalisasi fee penjual. Untuk mempertahankan pertumbuhan, sebagian dari laba ini harus dikembalikan untuk subsidi pelanggan. Tren sekarang menyiratkan pertumbuhan dan profit bisa dicapai berbarengan," kata laporan tersebut.

Google Cs memperkirakan nilai transaksi ecommerce di Asia Tenggara pada 2024 naik 15 persen melewati US$ 159 miliar dengan porsi pendapatan naik 13 persen melampai US$ 35 miliar. Upaya menggenjot pendapatan dengan lebih efisien memangkas kerugian sehingga margin EBITDA industri ecommerce di Asia Tenggara menyusut menjadi 10 persen.

Para perusahaan ecommerce menggenjot pendapatan dengan menaikkan komisi yang mereka pungut dari penjual di platform masing-masing. Menurut laporan Google, besaran komisi yang dipungut oleh para platform ecommerce di Asia Tenggara terus menanjak dan kini hampir menyentuh "batas atas" yang terbentuk di pasar ecommerce China.

Sumber lain kenaikan pendapatan ecommerce adalah tambahan iklan, terutama dari pendapatan iklan dari "video commerce." Di sisi lain, biaya pemasaran dan penjualan masih terus menanjak karena industri yang makin kompetitif dengan kehadiran platform ecommerce baru.

Cari pertumbuhan baru

Saat ini, 60 persen hingga 70 persen dari pertumbuhan pendapatan ecommerce bersumber dari "pengguna lama." Hal ini berbeda dari pola pertumbuhan sebelumnya yang mengandalkan tambahan pendapatan dari pengguna baru.

Data yang dihimpun oleh Google, Temasek, dan Bain menunjukkan bahwa frekuensi belanja pengguna ecommerce naik signifikan dari 3 sampai 4 kali per tahun pada 2012 menjadi 27-32 kali per tahun pada 2024.

Para konsumen di ecommerce juga lebih "percaya diri" untuk membeli barang sehari-hari lewat ecommerce. Hal ini, antara lain, digambarkan dari nilai transaksi per belanja (basket size) yang turun dari US$ 18 hingga US$ 23 pada 2012 menjadi US$ 13 hingga US$ 15 pada 2024.

"Konsumen belanja online 8 kali lebih banyak dibandingkan dengan dekade lalu, tetapi bertransaksi lebih kecil tiap berbelanja karena pergeseran dalam kategori dan kompetisi yang makin intens," kata laporan tersebut.

Pertumbuhan transaksi ecommerce berbeda untuk tiap kategori. Berdasarkan data Google, fesyen adalah kategori yang pertumbuhannya sudah mencapai puncak. Bahkan, produk fesyen yang dibeli lewat ecommerce kini porsinya sudah dominan dibanding total penjualan di kanal online dan offline.

Transaksi ecommerce lainnya yang sudah dominan kategori produk kecantikan dan perawatan tubuh. Namun, kategori ini diperkirakan masih akan tumbuh karena terus bermunculannya brand baru yang fokus menjajakan produknya di platform online.

Dua kategori yang pertumbuhannya diperkirakan makin pesat adalah produk makanan segar serta kebutuhan sehari-hari (groceries) dan produk furnitur. Adapun, elektronik diperkirakan akan mempertahankan laju pertumbuhan meskipun tidak sepesat dua kategori sebelumnya.

"Meskipun nilai transaksi tampaknya sulit untuk makin menyusut, kompetisi harga yang makin intens dan basket size yang makin kecil bisa membatasi pertumbuhan dalam jangka pendek."


(dem/dem)

Saksikan video di bawah ini:

Video: QRIS & Jurus RI Kembangkan Sistem Pembayaran Yang Inklusif

Next Article Kominfo: Pemerintah Ga Berpikir Digital, Regulasi Malah Hambat Ekonomi

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|