Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyimpulkan industri gula cenderung berkembang menjadi oligopoli, dari sisi produsen sampai dengan distribusinya. Kebijakan pemerintah untuk melakukan tata niaga impor justru semakin memperkuat struktur tersebut.
Kondisi ini membuat industri gula menjadi salah satu fokus utama pengawasan KPPU agar industri tersebut lebih kompetitif.
"Industri gula adalah salah satu prioritas KPPU, sehingga dipantau secara konsisten. Kami sudah melakukan berbagai kajian dan memberikan saran dan pertimbangan kepada presiden dan menteri terkait untuk pembenahan industri tersebut. Bahkan penegakan hukum juga telah dilakukan atas berbagai persoalan seperti proses lelang gula ilegal, distribusi gula, hingga jasa survei gula impor," jelas Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa.
Sebagai informasi, tercatat KPPU telah dua kali menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah terkait pembenahan industri gula. Pada Januari 2004, KPPU menggarisbawahi mekanisme penunjukan importir produsen dan importir terdaftar yang berpeluang menciptakan hambatan pasar dan memfasilitasi kartel antar pelaku usaha.
Pada September 2010, KPPU telah memberikan saran dan pertimbangan kepada presiden, antara lain mendorong penyempurnaan kebijakan tata niaga gula dengan menetapkan harga secara rigid di setiap level distribusi. Termasuk penetapan harga eceran tertinggi (HET) di tingkat konsumen.
Selain itu, KPPU juga mendorong Pemerintah membangun roadmap industri gula nasional untuk menghasilkan industri gula yang mampu menghasilkan harga gula yang kompetitif dan mampu bersaing dalam pasar mana pun. Pemerintah juga diminta meninjau ulang kebijakan dana talangan selama pemerintah memiliki kemampuan untuk menjamin harga gula petani senantiasa berada di atas harga dasar gula.
Penanganan perkara juga dilakukan KPPU beberapa kali di industri gula, yang mendapat perhatian publik adalah Perkara No. 4/KPPU-L/2005 terkait persekongkolan tender lelang gula ilegal. Dalam perkara ini, KPPU menerima laporan yang menyatakan bahwa terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan lelang barang bukti perkara tindak pidana kepabeanan.
Kegiatan lelang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Utara melalui PT Balai Mandiri Prasarana pada 4 Januari 2005 di Hotel Sheraton Media. Perkara yang berkaitan dengan kegiatan lelang barang bukti gula ilegal sebanyak 56.343 ton tersebut, dilaksanakan tidak sesuai ketentuan dan pengumuman lelang tidak dipublikasikan dalam harian umum berskala nasional.
Pada prosesnya lelang tersebut hanya diikuti oleh dua peserta. Perkara ini melibatkan empat Terlapor, yakni PT Angels Products, PT Bina Muda Perkasa, Sukamto Effendy, dan Ketua Panitia Lelang. Dalam perkara ini, KPPU menjatuhkan denda kepada PT Angels Products, PT Bina Muda Perkasa, dan Sukamto Effendy masing masing sejumlah Rp 1 miliar.
KPPU berhasil membuktikan bahwa ada keterkaitan antar peserta tender tersebut dalam menciptakan persaingan semu dalam lelang gula ilegal. Tercatat ketiga Terlapor telah membayarkan denda pelanggaran tersebut pada tahun 2008.
Kemudian juga Perkara No. 8/KPPU-I/2005 terkait dugaan pelanggaran Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 dalam penyediaan jasa survey gula impor oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia. Lalu Perkara No. 5/KPPU-L/2006 terkait dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf a dan huruf d berkaitan dengan kegiatan distribusi gula pasir milik PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN VI) yang melibatkan PTPN XI dan 11 (sebelas) peserta lelang gula.
Menurut Fanshurullah secara umum KPPU menilai pengaturan komoditi gula baik gula rafinasi maupun gula kristal putih cenderung mengarah pada inefisiensi dan ketidakadilan bagi konsumen.
Penetapan Harga Acuan Penjualan merugikan konsumen akhir karena mengacu pada industri yang tidak efisien (pabrik dengan mesin tua atau produktivitas rendah). Di sisi lain, menguntungkan bagi produsen gula yang mampu memproduksi dengan produktivitas tinggi serta biaya pokok relatif rendah.
"Industri yang belum efisien dalam produksinya tersebut membuat Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan harus melakukan importasi. Tahun ini misalnya, dengan kebutuhan nasional tahunan sebesar 2,93 juta ton dan produksi nasional sekitar 2,38 juta ton, diperkirakan masih dibutuhkan importasi sekitar 708 ribu ton per tahun," ungkap dia.
Menurut dia, ketidakefisienan itu juga berakibat tingginya harga gula di dalam negeri sehingga konsumen harus membayar mahal. Kondisi pasar yang cenderung oligopoli juga membuka peluang koordinasi antar pelaku usaha dalam mengendalikan industri tersebut.
"Tercatat pangsa pasar produsen gula konsumsi dikuasai secara berurutan oleh PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN), Sugar Group, dan Gunung Madu. Dalam kondisi ini, kebijakan Pemerintah harus mampu membatasi potensi penyalahgunaan kekuatan oligopoli pelaku usaha di industri tersebut," pungkas dia.
(rah/rah)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Jepang Luncurkan Satelit Pertahanan, Antisipasi Perang?
Next Article KPPU Tekankan Pentingnya Transformasi Kelembagaan