Begini Penjelasan Kenapa KUR Tidak Masuk Program Hapus Tagih Bank BUMN

1 month ago 17

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan piutang macet kepada usaha mikro, kecil, dan menengah dalam bidang pertanian perkebunan peternakan perikanan dan kelautan, serta UMKM lainnya. PP tersebut mengatur kriteria utang para pelaku UMKM yang dapat dihapus tagih.

Namun, tidak disebutkan secara spesifik apakah kredit usaha rakyat (KUR), program pemerintahan yang sudah berjalan selama 17 tahun itu termasuk dalam PP tersebut. PP tersebut menyatakan bahwa kredit yang dapat dihapus merupakan yang berasal dari bank atau lembaga pembiayaan BUMN yang program kreditnya telah berakhir. Sementara itu, program KUR sendiri masih terus berlanjut.

Sebelumnya Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae membenarkan bahwa program hapus tagih kredit UMKM di bank BUMN tidak termasuk KUR.

Ekonom Senior dan Associate Faculty LPPI Ryan Kiryanto menjelaskan bahwa KUR merupakan pembiayaan yang telah dijamin oleh PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo). Di dalam Ayat 2 (c) Pasal 6 PP 47/2024, menyebutkan bahwa kredit yang masuk dalam penjaminan tidak boleh dihapus tagih oleh bank BUMN. 

Ryan menerangkan Askrindo dan Jamkrindo memberikan penjaminan 70% dari nilai KUR yang disalurkan bank.

"Artinya apa? Kalau ada misalnya seorang debitur memperoleh fasilitas KUR, katakanlah Rp10 juta rupiah. Kreditnya macet. Karena itu dijamin oleh Askrindo atau Jamkrindo, maka yang menjadi tanggungan atau risiko bank itu 30%. Yang 70% itu diganti, dijamin oleh Askrindo atau Jamkrindo," kata Ryan saat dihubungi CNBC Indonesia, Rabu (14/11/2024).

Dia menjelaskan usai krisis moneter 1997-1998, banyak pelaku usaha yang berguguran, termasuk para pelaku usaha di sektor-sektor informal seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya. Maka pemerintah menggulirkan bantuan kepada korporasi berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan bagi para pelaku sektor informal juga program-program kredit yang berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).

Ryan menyebut salah satu contohnya adalah Kredit Usaha Tani (KUT) dengan nilai sekitar Rp8 triliun. Dia menyebut segmen KUT pada saat itu sebenarnya lebih menyasar pada usaha kecil mikro (UKM). Namun pada perjalananya, banyak petani, nelayan, dan sektor perkebunan yang tidak mampu memenuhi kewajiban kreditnya. Oleh karena itu tingkat pengembalian dari KUT tadi hanya mencapai 25% atau ada kredit macet sekitar Rp5,71 triliun.

"Karena yang menyalurkan waktu itu adalah bank-bank pemerintah, bank BUMN. Kemudian beberapa BPD seingat saya. Nah, itu kan kalau kredit macet di bank pemerintah, bank-bank Himbara, itu kan nggak bisa dihapus tagih," jelas Ryan.

Dia pun mengusulkan agar ada peraturan turunan dari PP 47/2024 agar dapat menetapkan batasan dan teknis lebih lanjut dari pelaksanaan program. Sebab, menurut Ryan PP lebih bersifat umum.

"Agar menjadi pegangan bankir-bankir bank pemerintah dan BPD, sebaiknya menurut saya OJK menindaklanjuti dalam bentuk menyusun atau membentuk POJK. POJK apa? POJK mengenai pemutihan kredit macet KUT atau apalah namanya. Biar clear ini," katanya. 


(mkh/mkh)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Cara Asuransi Berekspansi Saat Produk Unit Link "Kurang Laku"

Next Article Airlangga Sebut Perpanjangan Restrukturisasi KUR Diserahkan ke Bank

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|