Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) membeberkan akan ada perusahaan energi yang masuk dalam pipeline Initial Public Offering (IPO) jumbo tahun ini. Ia pun buka suara soal isu anak usaha PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) yang dikabarkan akan melantai di bursa.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, pihaknya telah menargetkan lebih dari tiga perusahaan mercusuar atau lighthouse company untuk melakukan penawaran umum perdana. Adapun salah satunya berasal dari sektor energi.
"Kalau industri beberapa salah satunya industri yang berhubungan dengan energi, ada kesehatan juga," kata Nyoman saat ditemui wartawan di Gedung BEI, Senin, (11/11/2024).
Saat ditanya apakah emiten tersebut merupakan anak usaha dari Adaro, ia mengaku belum bisa menyebut namanya.
"Adaro Andalan saya sampaikan bahwa kalau nama tentu kan tidak boleh kita sampaikan. Tapi silahkan aja kalau Adaro (induknya) sudah menyebut," jelas Nyoman.
PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) meminta restu kepada seluruh pemegang saham terkait rencana transaksi penjualan sebanyak-banyaknya seluruh saham PT Adaro Andalan Indonesia (AAI) yang dimiliki oleh Perseroan sejumlah 7.008.202.240 saham.
Perseroan berencana melakukan transaksi penjualan AAI melalui pelaksanaan Penawaran Umum Oleh Pemegang Saham berdasarkan POJK 76/2017 (PUPS). AAI merupakan suatu perseroan terbatas yang 99,9999% sahamnya dimiliki secara langsung oleh perseroan.
"PUPS akan dilaksanakan secara bersamaan atau berkesinambungan dengan proses penawaran umum perdana saham AAI, di mana segera setelah penawaran umum perdana saham AAI tersebut, kepemilikan saham perseroan pada AAI diperkirakan akan terdilusi menjadi sebesar 90% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor AAI," tulis manajemen, Kamis (17/10/2024).
Harapannya, transaksi ini akan membantu AAI dan pilar bisnis non-batu bara termal meningkatkan fokus pengembangan dan kinerja.
Pemisahan ini juga akan membantu bisnis hijau Perseroan untuk mendapatkan akses terhadap sumber pembiayaan yang lebih banyak, biaya pendanaan yang lebih kompetitif, memberikan akses yang lebih baik pada proyek-proyek ramah lingkungan dengan partner bisnis potensial peringkat atas, serta memberikan opsi investasi yang lebih banyak pada investor publik untuk berinvestasi sesuai dengan minat dan pandangannya.
"Saat ini proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) Perseroan masih dalam tahap awal dan belum mendapatkan pembiayaan. Diharapkan melalui pemisahan ini, Perseroan akan dapat mengakses sumber pembiayaan yang lebih kompetitif dari lembaga-lembaga pembiayaan yang fokus pada pendanaan energi hijau," tulisnya.
Walaupun coking coal belum masuk dalam Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI), beberapa lembaga pembiayaan masih dapat memberikan pendanaan, karena coking coal merupakan bahan baku dalam pembuatan baja yang juga dibutuhkan untuk transisi ke ekonomi hijau.
Saat ini Perseroan masih menjajaki berbagai potensi pendanaan dari lembaga-lembaga pembiayaan internasional. Diharapkan melalui pemisahan ini, Perseroan akan dapat mengakses sumber pembiayaan yang lebih kompetitif dari lembaga-lembaga pembiayaan yang fokus pada pendanaan proyek energi hijau.
Hingga saat ini Perseroan masih belum memiliki komitmen dengan lembaga pembiayaan manapun untuk mendanai proyek-proyek di bisnis hijau yang saat ini sedang dijajaki dan Perseroan masih melakukan perhitungan untuk pengembangan proyek termasuk kemampuan keuangannya untuk dapat memenuhi kewajiban keuangan atas pendanaan proyek terkait.
Persentase pendapatan dan laba bersih AAI terhadap pendapatan dan laba bersih Perseroan secara konsolidasi, masing-masing adalah 89,4% dan 104,8%.
(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Efek Sritex Pailit, Saham Sektor Tekstil Bisa Dijauhi Investor?
Next Article Ternyata, ADRO Borong Saham ADMR Rp 8,28 T Buat Ini