Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah penantian pelaku pasar soal neraca perdagangan Badan Pusat Statistik (BPS) dan rilis data suku bunga Bank Indonesia (BI).
Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka menguat tipis 0,03% di angka Rp15.570/US$ pada hari ini, Senin (14/10/2024). Namun lima menit kemudian, rupiah tampak terdepresiasi ke angka Rp15.600/US$.
Sementara DXY pada pukul 09:504 WIB naik 0,14% di angka 103,03. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan posisi kemarin yang berada di angka 102,89.
Pergerakan rupiah hari ini cenderung didorong oleh sikap wait and see pelaku pasar perihal data neraca dagang esok hari (15/10/2024) serta suku bunga BI yang akan dirilis pada Rabu (16/10/2024).
BPS akan merilis data neraca perdagangan, ekspor, dan impor untuk periode September 2024 esok hari.
Sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia Agustus 2024 mengalami surplus US$2,89 miliar. Ini adalah surplus 52 bulan beruntun sejak Mei 2020. Surplus ini dihasilkan oleh nilai ekspor tercatat tumbuh 5,97% mencapai US$23,56 miliar, sementara impor lebih rendah sebesar US$20,67 miliar.
BI akan merilis hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dilaksanakan pada 15-16 Oktober 2024. Salah satu hal yang paling ditunggu yakni keputusan suku bunga acuan.
Sebelumnya pada September 2024, BI memutuskan untuk memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) dari 6,25% ke 6%.
"Keputusan itu konsisten dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi pada 2024 dan 2025 yang terkendali dalam sasaran yang ditetapkan pemerintah 2,5 plus minus 1% penguatan stabilitas nilai tukar rupiah dan perlunya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional ke depan," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Rabu (18/9/2024).
Kedua hal ini akan menjadi penentu pergerakan rupiah ke depan. Jika surplus neraca perdagangan semakin besar, maka suplai dolar AS di dalam negeri akan semakin banyak dan rupiah dapat lebih terkendali.
Begitu pula jika suku bunga BI berada di level yang tetap tinggi akan membuat spread antara BI dengan bank sentral AS (The Fed) akan tetap lebar dan membuat tekanan terhadap rupiah relatif tidak terlalu besar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Mau Dolar AS ke Bawah Rp15.000 di Akhir Tahun? Ini Syaratnya
Next Article Dolar Kembali Perkasa ke Rp16.075, Ini Penyebabnya