Jakarta, CNBC Indonesia - China mencatat pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam satu setengah tahun sebesar 4,6% pada kuartal III-2024, saat Beijing berjuang untuk menstabilkan perekonomian yang diguncang oleh lemahnya pengeluaran dan masalah yang terus berlanjut di sektor properti.
Dalam beberapa minggu terakhir, pemerintah telah meluncurkan serangkaian langkah untuk memicu kembali ekonomi terbesar kedua di dunia, dengan target pertumbuhan tahunan lima persen.
Namun, setelah pasar sempat mengalami lonjakan yang didorong oleh harapan untuk stimulus besar-besaran yang telah lama dinantikan, optimisme mulai memudar karena pihak berwenang menahan diri untuk tidak memberikan angka pasti terkait paket bailout atau merinci janji-janji mereka.
Pada Jumat (18/10/2024), Biro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan bahwa ekonomi tumbuh 4,6% secara tahunan pada kuartal ketiga, turun dari 4,7% pada tiga bulan sebelumnya dan menjadi yang paling lambat sejak awal tahun 2023, saat China keluar dari kebijakan ketat nol-Covid.
Meskipun demikian, angka ini sedikit lebih baik dari prediksi 4,5% oleh para analis.
Sebelum pengumuman angka ini, media pemerintah melaporkan bahwa bank-bank terbesar di negara tersebut telah menurunkan suku bunga deposito yuan untuk kedua kalinya tahun ini.
Beijing menyatakan bahwa pihaknya memiliki "keyakinan penuh" dalam mencapai target pertumbuhan tahunannya, tetapi para ekonom mengatakan bahwa diperlukan stimulus fiskal yang lebih langsung untuk menghidupkan kembali aktivitas dan memulihkan kepercayaan bisnis.
Dalam beberapa pekan terakhir, otoritas telah mengumumkan serangkaian langkah untuk mengalirkan uang ke perekonomian, termasuk pemotongan suku bunga dan pelonggaran pembatasan pembelian rumah.
Namun, investor masih menuntut rincian lebih lanjut tentang bagaimana Beijing akan mengalihkan perekonomiannya ke model yang digerakkan oleh konsumsi untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Krisis Properti
Salah satu tantangan utama adalah krisis berkepanjangan di sektor properti, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan tetapi kini terperosok dalam utang. Pada Kamis, pejabat pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan kredit untuk proyek perumahan yang belum selesai menjadi lebih dari US$500 miliar. Otoritas juga menjanjikan untuk memfasilitasi renovasi satu juta rumah, langkah yang dimaksudkan untuk meningkatkan aktivitas di sektor properti.
Namun, seperti serangkaian pengarahan lainnya dalam seminggu terakhir, konferensi pers hari Kamis gagal mengesankan pasar karena kurangnya komitmen keuangan besar-besaran.
Stephen Innes, mitra pengelola di SPI Asset Management, mengatakan dalam sebuah catatan bahwa Beijing sedang "berusaha untuk berbicara tentang stabilisasi pasar properti, tetapi tidak dengan langkah-langkah konkret yang besar."
"Mari kita jujur saja, masalah properti China tidak bisa diperbaiki hanya dengan beberapa pidato dan langkah setengah hati," ujarnya, dilansir AFP.
Sejumlah kota besar dalam beberapa bulan terakhir telah melonggarkan pembatasan pembelian rumah, termasuk di Chengdu, ibu kota provinsi Sichuan, dan kota pelabuhan Tianjin di utara.
Permintaan Konsumen
Pertumbuhan ekonomi China juga terhambat oleh lemahnya pengeluaran domestik, dengan kewaspadaan konsumen yang mengancam menjerumuskan negara tersebut ke dalam deflasi. Inflasi meleset dari ekspektasi, mencerminkan lemahnya permintaan yang berlanjut.
Ini menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong ekonomi China keluar dari kelesuan saat ini masih menghadapi tantangan besar, meskipun ada berbagai kebijakan yang telah diterapkan.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: PDB China 4,6%, Terendah Terakhir Selama 1,5 Tahun
Next Article Lapor Xi Jinping, IMF Kerek Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi China Jadi 5%