Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mencatat, suku bunga kredit pada sektor prioritas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) mengalami penurunan pada bulan Agustus 2024. Di antaranya, sektor perumahan yang terus menurun, yakni di posisi 7,28% pada Agustus 2024, menurun dari Juni 2024 sebesar 7,29% dan di bulan Agustus 2023 sebesar 7,64%.
Meskipun begitu, penurunan suku bunga kredit perumahan tersebut tidak diiringi dengan kualitas kreditnya. Non performing loan (NPL) kredit sektor perumahan justru meningkat menjadi 3,10% di bulan Agustus 2024, dari 3,01% di bulan Juni 2024. Walaupun posisi sekarang lebih rendah dari 3,33% pada Agustus 2023.
Hal ini menunjukkan bahwa transmisi penurunan suku bunga acuan global dan domestik belum sepenuhnya terjadi. Seperti diketahui, bank sentral AS Federal Reserve, untuk pertama kalinya dalam 4 tahun terakhir telah memotong tingkat suku bunganya, Fed Fund Rate (FFR) sebesar 50 basis poin (bps) ke range baru di 4,75%-5%. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah lebih dulu memangkas suku bunga acuannya menjadi 6%
"Artinya belum terlihat ada hubungan antara penurunan suku bunga acuan terhadap NPL," kata Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (17/10/2024).
Ia mengatakan bahwa perbankan RI masih enggan melakukan pemangksan suku bunga kredit dand deposito menyusul suku bunga acuan, karena masih memperhatikan likuiditas, biaya dana, dan kebijakan masing-masing perusahaan.
Meskipun ada beberapa bank yang sudah mulai memangkas suku bunga depositonya. Seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang menurunkan suku bunga deposito sebesar 25 bps untuk tenor 3 bulan, menjadi 3%.
Kemudian, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Darmawan Junaidi mengatakan sebagian besar kredit yang disalurkan bank pelat merah itu menggunakan suku bunga referensi atau reference rate. Maka, bunga kredit di bank pelat merah itu sebagian besar sudah turun.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), Sunarso menyorot bahwa kebutuhan dana untuk penyaluran kredit masih tinggi.
"Tapi kemudian lihat sekarang LDR nasionalnya kan naik juga. Jadi itu kan artinya apa? Di pasar kan ada kebutuhan untuk mencari dana tambahan. Karena LDRnya juga naik sekarang udah menjadi 86% di pasar ya," ujar Sunarso saat ditemui di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2024) lalu.
Menurut Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), Royke Tumilaar, transmisi penurunan suku bunga acuan akan sangat dipengaruhi oleh penurunan bunga dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Pada lelang terakhir di 4 Oktober 2024, Bank Indonesia (BI) mencatat SRBI masih menawarkan imbal hasil 6,83% untuk tenor 12 bulan. Ini masih di atas angka lelang perdananya yang sebesar 6,42% pada September 2023 lalu.
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) mengakui bahwa terjadi tantangan dalam penghimpunan deposito. Wakil Direktur Utama BTPN Darmadi Sutanto mengatakan saat ini perbankan sedang berlomba-lomba mencari likuiditas.
"Saya pikir memang semua orang lagi mencari likuiditas. Ini bank-bank besar nih. Saya nggak ngomong bank kecil nih. Bank-bank besar, kan. Membeli bunga-bunga tinggi. Tentu saja mereka membutuhkan likuiditas. Terutama yang di foreign currency (valuta asing)," kata Darmadi saat ditemui di SEIA Restaurant, Jakarta Pusat, Rabu (9/10/2024) lalu.
Faktor Daya Beli Masyarakat Lemah
Tidak hanya karena transmisi yang belum sepenuhnya, membengkaknya NPL perumahan disebabkan oleh sejumlah faktor pada kemampuan beli masyarakat.
Pengamat Perbankan & Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo memaparkan penurunan daya beli masyarakat menjadi salah satu biang keroknya. Hal ini menyebabkan banyak nasabah yang mengalami kesulitan membayar angsuran kredit, meskipun suku bunga lebih rendah.
Selanjutnya, over-leverage atau over-commitment. Yakni, keadaan suku bunga yang lebih rendah, menggiurkan beberapa konsumen untuk mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tanpa memperhitungkan kemampuan mereka dalam jangka panjang.
"Akibatnya, ketika ada tekanan ekonomi, seperti inflasi atau penurunan pendapatan), risiko gagal bayar meningkat," ujar Arianto saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (17/10/2024).
Faktor berikutnya adalah penundaan proyek atau pengembang bermasalah yang juga berkontribusi terhadap meningkatnya NPL.
"Dalam situasi ini, pembeli rumah yang terlanjur mengambil KPR menghadapi masalah kepemilikan atau serah terima rumah yang tidak sesuai jadwal, membuat mereka kesulitan dalam pembayaran cicilan," jelasnya.
Lebih lanjut, NPL perumahan membengkak tidak terlepas dari ketidakstabilan ekonomi global dan domestic.
"Meskipun suku bunga kredit menurun, ketidakpastian ekonomi global, termasuk inflasi dan kenaikan harga bahan pokok, memengaruhi kemampuan nasabah untuk membayar cicilan tepat waktu. Hal ini meningkatkan risiko gagal bayar di sektor KPR," terang Arianto.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: DP Rumah 0% Diperpanjang ke 2025, Cuan Bagi Sektor Properti?
Next Article Warga RI Sulit Bayar Cicilan, Kualitas Kredit Konsumer Bank Memburuk