Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah untuk terus memperluas jaringan gas bumi agar pemanfaatan gas bumi makin meluas dinilai bakal menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Membesarnya penggunaan gas akan memangkas impor energi yang selama ini selalu membebani APBN.
Pakar Kebijakan Energi, Iwa Garniwa, mengatakan gas bumi merupakan jawaban atas persoalan impor migas yang saat ini masih terjadi. Ketersediaan serta potensi cadangan energi fosil paling bersih ini di Indonesia sangat besar sehingga akan mubazir jika tidak dioptimalkan penggunaannya.
"Pemerintah termasuk peran BUMN seperti Pertamina grup harus dimaksimalkan (untuk peningkatan infrastruktur dan jaringan gas bumi). Ditambah lagi jika blok-blok migas seperti Masela bisa segera diselesaikan. Ketika blok Masela sudah berproduksi, baik gas maupun kondensatnya yang tinggi bisa disalurkan untuk penuhi kebutuhan industri," ungkapnya, kepada wartawan, Jumat (18/10/2024).
Selain industri, pembangunan jaringan gas untuk Rumah Tangga juga akan menjadi kunci pemerintahan baru untuk memangkas impor LPG yang selama ini banyak mengabiskan uang subsidi.
"Gas bumi, lanjut Iwa, akan berperan besar untuk mengurangi impor LPG yang sejauh ini masih mendominasi kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Karena itu peran pemerintah dalam membuat kebijakan yang pro pemakaian gas alam sangat dibutuhkan. Sehingga kita tidak over supply gas.
"Harus dibangun transmisi gas sebagai backbone atau tulang punggung. Kedua, pemanfaatan gas alam untuk gas kota. Jadi dua program itu yang harus dikerjakan oleh pemerintahan Probowo-Gibran," jelasnya.
Di sisi lain, Iwa menjelaskan, ketika infrastruktur ditingkatkan maka akan semakin membuka jalan untuk optimalisasi gas bumi bagi kebutuhan lainnya yaitu transportasi. "Nah jalan keluar kedua adalah mengonversi pemakaian BBM (Bahan Bakar Minyak) ke gas (BBG). Kalau kita konversikan 250 ribu BPH (Barel per Hari) ke gas maka akan saling menutupi. Jadi program pemerintahan ke depan yang paling penting terkait energi adalah konversi BBM ke gas. Ada contoh negara yang berhasil misalnya Korea Selatan," Iwa memaparkan.
Sebab impor LPG dan impor BBM yang kebutuhannya terus meningkat akan menjadi tantangan terbesar dalam upaya membangun kemandirian dan ketahanan energi nasional. Sedangkan pada saat yang sama terdapat gas bumi di dalam negeri yang bisa dioptimalkan.
"Jadi kita lihat dulu persoalan energi kita. Kalau BBM kita impornya masih tinggi sampai 1 juta BPH, sedangkan produksi sendiri hanya 600 ribu BPH. Padahal kebutuhan BBM kita 1,6 juta BPH," tegasnya.
Dalam konteks era transisi menuju Net Zero Emission, Iwa menjelaskan, gas bumi juga berperan strategis dan optimalisasi energi fosil paling bersih ini menjadi jalan terbaik. "Jika negara yang tidak punya energi fosil pasti lebih banyak bicara energi baru terbarukan. Sedangkan Indonesia yang kaya akan gas maka perlu dimanfaatkan secara optimal, jadi perlu adanya keseimbangan. Memang kita tidak meninggalkan rencana menuju energi baru terbarukan, tapi kita punya resources yang harus kita optimalkan," ujarnya.
Terpisah, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mendukung upaya pemerintah untuk lebih memasyarakatkan gas bumi. "Sebab itu menjadi solusi penggunaan LPG tabung hijau yang masih impor. Kita tahu, Indonesia mengalami defisit migas, apalagi pemerintah mensubsidi dalam jumlah yang cukup besar," ucapnya, kepada wartawan.
Achmad mengatakan peran BUMN seperti Pertamina grup dan swasta harus lebih dioptimalkan berkaitan keinginan positif ini terlebih holding migas memiliki jaringan infrastruktur transimisi gas bumi terbesar di Indonesia. "Sementara ini Pertamina melalui PGN dan grupnya lebih banyak memasok gas ke industri, sudah saatnya memiliki rencana bisnis sampai ke daerah-daerah. Bukan hanya komplek perumahan lama tapi juga masyarakat pada umumnya," harapnya.
Maka pihaknya menyarankan supaya terjadi kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait hal ini. "Pemerintah pusat perlu meyakinkan Pemda untuk menjamin terlaksananya pembangunan pipanisasi gas ke rumah tangga," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan pentingnya pengembangan jaringan gas bumi untuk rumah tangga atau Jargas. Menurut Bahlil, upaya tersebut perlu dilakukan agar Indonesia tidak ketergantungan impor.
"Kita bikin Jargas. Jargas ini harus kita buat. Kalau tidak nanti impor lagi, impor lagi, impor lagi, lama-lama mati dengan impor kita," tegasnya.
Tantangan utama masih minimnya penggunaan gas bumi terutama untuk rumah tangga, kata Bahlil karena infrastrukturnya belum dibangun. Negara harus terlibat dalam upaya ini karena membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit. "Karena pipanya nggak dibangun. Saya sudah minta kepada Menteri Keuangan kemarin, pipa-pipa ini kita harus bangun sebagai jalan tol (gas bumi)," ujarnya.
Terkait LPG, Bahlil menjelaskan, kebutuhannya saat ini mencapai 8 juta ton per tahun. Sementara produksi di dalam negeri hanya 1,7 ton per tahun. Maka mayoritas LPG bersumber dari impor. Untuk itu optimalisasi gas bumi perlu segera diwujudkan sebagai solusi.
Terlebih, peningkatan infrastruktur gas bumi ini sejalan dengan poin kedua dari Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran yaitu swasembada energi dan ekonomi hijau. Pada upaya swasembada energi, terdapat sejumlah poin penting seperti pembangunan infrastruktur terminal penerima gas dan jaringan transmisi/distribusi gas, serta memperluas konversi BBM kepada gas dan listrik untuk kendaraan bermotor. Optimalisasi gas bumi ini juga merupakan bagian dari langkah menuju Visi Emas Indonesia 2045.(*)
(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Konsumsi Elpiji Naik Terus, Ini Jurus Bahlil Tekan Impor Elpiji
Next Article Video: LPG Mau Diganti Jargas Hingga Roket Al-Qassam Bombardir Isra