Jakarta, CNBC Indonesia- Mantan presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terpilih kembali menjadi presiden. Ia, yang dicalonkan Partai Republik, memenangkan pemilu Amerika 5 November, mengalahkan petahana Wakil Presiden AS saat ini Kamala Harris.
Dalam laporan Associated Press (AP) Jumat (8/11/2024), Trump mendapatkan mayoritas suara elektoral, 295, dari batas kemenangan 270. Sementara Kamala hanya mendapat 226.
Ia juga mendominasi suara populer. Di mana dirinya mendapatkan 73.407.735 suara (50,7%) dibanding Kamala 69.074.145 suara (47,7%).
Lalu bagaimana kebijakannya di Timur Tengah? Akankah kemenangannya kembali dalam pemilu menjadi presiden AS bisa membawa dampak, misalnya ke perang Israel di Gaza?
Pengaruh Kemenangan Trump di Gaza?
Dalam pidatonya, Trump telah berjanji untuk membawa damai ke Timur Tengah. Ini menyiratkan bahwa dirinya akan mengakhiri perang Israel-Hamas di Gaza dan perang Israel-Hizbullah di Lebanon.
Hal ini bahkan dikatakannya saat kampanye di depan kelompok Arab Amerika yang mendukungnya. Ia mengatakan akan menyudahi perang.
Sebenarnya mengutip The Times of Israel, dua sumber memang mengatakan hal itu. Trump bahkan disebut telah mengemukakan langsung keinginan itu kepada Perdana Menteri (PM) Israel Benjain Netanyahu
"Pesan tersebut pertama kali disampaikan ketika calon presiden dari Partai Republik itu menjamu PM Israel di resor miliknya di Florida Mar-a-Lago pada bulan Juli," tulis laman tersebut, merujuk mantan pejabat pemerintahan Trump dan seorang pejabat Israel, awal November.
"Meskipun Trump telah secara terbuka mengkonfirmasi bahwa ia telah mengatakan kepada Netanyahu bahwa ia ingin Israel memenangkan perang dengan cepat, sumber-sumber yang berbicara kepada The Times of Israel adalah orang pertama yang mengungkapkan bahwa ada batas waktu yang dilampirkan pada permintaan tersebut," tambahnya.
Namun Trump tidak spesifik dalam permohonannya kepada Netanyahu. Bisa saja, tulis artikel itu, ia masih akan mendukung aktivitas "sisa" militer Israel (IDF) di Gaza, asalkan perang diakhiri secara resmi.
Netanyahu telah lama menekankan bahwa Israel akan mempertahankan kendali keamanan atas Gaza di masa mendatang setelah perang. Ini, klaimnya, untuk mencegah para pejuang Hamas bersatu kembali.
"Mantan pejabat AS itu mengklarifikasi bahwa kemenangan sebelum pelantikan yang Trump ingin Israel amankan di Gaza juga mencakup kembalinya para sandera," tambah laman itu.
Sayangnya, tidak ada konfirmasi dari tim kampanye Trump dan kantor Netanyahu. Trump dan Netanyahu sendiri telah berbicara beberapa kali sejak pertemuan mereka di Mar-a-Lago pada bulan Juli.
Seruan Trump agar Netanyahu mengakhiri perang bukan sekali. The Times of Israel mengatakan awal bulan November, dua pejabat senior Israel mengatakan "prihatin" dengan seruan Trump yang berulang kali agar Israel segera mengakhiri perang Gaza.
"Karena khawatir ketidakmampuan untuk melakukan hal tersebut akan menyebabkan bentrokan jika mantan presiden AS tersebut memenangkan pemilu minggu depan dan kembali menjabat pada bulan Januari," jelasnya.
"Ada kendala politik internal untuk mengakhiri perang dengan cepat," ujar salah satu pejabat Israel dari lembaga keamanan yang tampaknya merujuk pada susunan koalisi Netanyahu, yang mencakup unsur-unsur sayap kanan yang menentang proposal gencatan senjata.
Akankah Ada Negara Palestina?
Mengutip BBC, Trump memang telah berulang kali mengatakan bahwa, jika berkuasa, Hamas tidak akan menyerang Israel. Apalagi kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran, yang ia percaya mendanai kelompok tersebut.
Tekanan maksimum ke Iran bukanlah hal baru. Saat pertama kali menjabat sebagai Presiden 2017-2021, ia memang menyasar Iran sebagai "lawan" AS.
Dirinya menarik keluar AS dari perjanjian nuklir Iran dan menerapkan sanksi yang lebih besar terhadap negeri tersebut. Ia juga memerintahkan pembunuhan ke komandan militer Iran yang paling kuat, Jenderal Qasem Soleimani.
Saat berkuasa, di Gedung Putih, Trump memberlakukan kebijakan yang sangat pro-Israel. Ia menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Negeri Zionis dan memindahkan kedutaan AS ke sana dari Tel Aviv.
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menyebut Trump sebagai "sahabat terbaik yang pernah dimiliki Israel di Gedung Putih". Namun para kritikus berpendapat bahwa kebijakannya mempunyai dampak yang mengganggu stabilitas di kawasan.
Orang-orang Palestina sempat memboikot pemerintahan Trump, karena Washington mengabaikan klaim mereka atas Yerusalem. Bagi Palestina, kota itu menjadi pusat sejarah kehidupan nasional dan keagamaan mereka.
Trump pun semakin menguatkan posisi Israel di Arab dengan membuat "Perjanjian Abraham". Tujuannya menormalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab dan Muslim.
Negara-negara itu menerima Israel bahkan tanpa Israel harus mendesak negara Palestina merdeka di masa depan alias solusi dua negara. Padahal ini sebelumnya merupakan syarat bagi negara-negara Arab untuk mencapai kesepakatan regional.
Negara-negara yang terlibat malah diberi akses terhadap senjata canggih AS sebagai imbalan atas pengakuan Israel. Bangsa Palestina berada pada titik paling terisolasi kala Trump berkuasa dulu.
AIPAC & Sumbangan Rp 1,5 T
Perlu diketahui, salah satu "mesin" politik yang mendukung agenda Israel di AS adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Secara singkatnya, ini adalah organisasi kelompok lobi yang mengadvokasi kebijakan pro-Israel ke legislatif dan eksekutif Paman Sam.
The New Yorker bahkan menyebut organisasi ini sebagai kelompok lobi terkuat di AS. Dalam laporan The Guardian, singkatnya mereka berupaya melobi pemerintah agar upaya advokasi kepada Palestina dihilangkan.
Tak jarang, karena besarnya sumber daya keuangan dan kekuatan, lobi-lobi tersebut membuahkan hasil yang sejalan dengan strategi besar AS di Timur Tengah. Di tahun ini saja misalnya, mengutip TRT World, dalam pemilu Amerika 2024 total dana yang disumbangkan AIPAC mencapai US$ 100 juta (sekitar Rp 1,5 triliun).
Artinya, untuk mengubah dukungan AS terhadap Israel sangat sulit dilakukan. Hal ini karena semua bukan hanya kebijakan strategis politik luar negeri.
Mohamad Elmasry, seorang profesor studi media di Institut Studi Pascasarjana Doha, Qatar, juga membenarkan dominasi AIPAC ke keputusan AS. Ia mengatakan ada situasi di mana AS "tidak mau menggunakan pengaruhnya".
"Dukungan untuk Israel merupakan perhitungan yang sulit bagi AS," katanya dimuat Al-Jazeera.
"Di satu sisi, AS telah lama mengawinkan dirinya dengan Israel karena alasan strategis. AS menginginkan sekutu yang kuat di Timur Tengah," tambahnya.
"Mereka telah mencekik politik AS dan mereka mampu menggunakan banyak pengaruh terhadap politisi perorangan. Di sisi lain, tidak ada politisi yang ingin memancing kemarahan AIPAC. Sehingga tidak ada indikasi pada titik ini bahwa AS akan mengubah arah."
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ini Janji Trump Kalau Terpilih Jadi Presiden AS
Next Article FBI: Penembakan Trump Adalah Percobaan Pembunuhan