Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan umum (pemilu) akan segera diadakan di Amerika Serikat (AS) pada November mendatang. Kontestasi itu akan mempertemukan Mantan Presiden Donald Trump dan Wakil Presiden (Wapres) petahana saat ini, Kamala Harris.
Sejumlah pengamat mulai meramalkan sikap sejumlah besar negara dunia atas adanya kompetisi demokrasi ini. Salah satu yang menjadi pengamatan adalah sikap dari Arab Saudi, yang saat ini merupakan patron de facto di Timur Tengah.
Peneliti International Crisis Group, Dina Esfandiary, mengatakan bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman memiliki sejumlah situasi yang perlu diperhitungkan. Meski dahulu Trump pernah membantu Saudi untuk memblokade Iran, Dina menyebut agenda besar Trump untuk menormalisasi hubungan Israel-Saudi mungkin akan jadi kendala.
"Menurut saya, secara umum, Saudi lebih menginginkan kemenangan Trump. Di permukaan, ia akan lebih mendukung mereka dan tidak terlalu kritis terhadap mereka. Namun, mereka khawatir tentang beberapa hal yang tidak terduga yang mungkin dilakukannya?," katanya kepada AFP, Kamis (24/10/2024).
Setelah menjabat pada tahun 2017, kunjungan luar negeri pertama Trump adalah ke ibu kota Saudi, Riyadh, di mana ia menikmati sambutan meriah yang melibatkan tarian pedang dan terbang rendah bersama jet angkatan udara.
Masa bulan madu kemudian mendingin. Pangeran Mohammed menyalahkan Trump karena gagal merespons dengan lebih agresif setelah serangan tahun 2019 ke negaranya yang secara luas disalahkan pada Iran. Pasalnya, serangan itu memangkas separuh produksi minyak mentah kerajaan Teluk itu.
Biden, di sisi lain, telah mengambil jalan yang berlawanan. Ia awalnya bersumpah untuk menjadikan Arab Saudi 'paria' sebelum terjun ke dalam pembicaraan untuk mendalami hubungan dengan imbalan pengakuan Riyadh atas Israel.
"Perang Gaza telah menunda kesepakatan, tetapi salah satu hasil dari perubahan sikap Biden adalah Saudi sekarang akan 'sama nyamannya' dengan Trump atau Wakil Presiden Kamala Harris yang menjabat," kata Ali Shihabi, seorang analis Saudi yang dekat dengan pemerintah.
"Mereka memiliki hubungan yang baik dengan Trump dan akses tingkat tinggi kepadanya, sementara pada saat yang sama mereka sekarang memiliki hubungan yang sangat baik dengan pemerintahan Biden-Harris dan tidak melihat alasan mengapa hal itu akan berubah dengan Kamala."
Manuver Biden berikutnya berkaitan dengan serangan Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 yang membuat harga energi melonjak. Kondisi ini memperkuat Arab Saudi sebagai kekuatan utama Timur Tengah dan eksportir minyak mentah terbesar di dunia.
Pada bulan Juli tahun itu, Biden terbang ke Arab Saudi untuk bersalaman dan bertemu dengan Pangeran Mohammed. Saat itu, kedua pihak disebut membahas garis besar perjanjian di mana Arab Saudi akan mengakui Israel sebagai imbalan atas pakta pertahanan dengan AS dan bantuan pada program nuklir sipil.
Peneliti senior di Observer Research Foundation Timur Tengah, Aziz Alghashian, menilai bahwa hal itu memperkuat gagasan bahwa Demokrat siap bekerja sama erat dengan Arab Saudi
"Saya pikir Biden adalah lambang dari hal ini, karena ia datang dengan retorika anti-Saudi yang kuat," kata Alghashian.
Trump, Iran, dan Proyek Timur Tengah
Di bawah Biden, Arab Saudi telah mengubah kebijakannya terhadap Iran. Pada bulan Maret 2023, kerajaan tersebut mencapai kesepakatan yang ditengahi oleh China dengan mantan musuhnya setelah tujuh tahun putus hubungan.
Trump dikenal sebagai orang yang agresif terhadap Iran. Ia secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir penting tahun 2015 dan memerintahkan pembunuhan komandan Garda Revolusi Qassem Soleimani tahun 2020.
"Saya mengantisipasi bahwa Trump, jika ia menjadi presiden, akan memperumit keadaan jika menyangkut Iran," kata Alghashian.
Namun, Arab Saudi dan tim Trump telah memperkuat ikatan mereka menjelang pemilihan. Tokoh-tokoh penting era Trump menghadiri konferensi investasi mewah di Riyadh, dan konglomerat swasta miliknya, Trump Organization, aktif di wilayah Teluk Persia.
Pada bulan Juli, perusahaan itu mengumumkan kesepakatan untuk bermitra dengan pengembang Saudi di menara tinggi di kota pesisir Jeddah. Jared Kushner, menantu Trump, telah menyokong penerimaan investasi Saudi di perusahaan ekuitas swasta miliknya yang menurut laporan bernilai US$ 2 miliar (Rp 31 triliun).
"Kesepakatan semacam itu berarti masa jabatan kedua Trump tentu akan menimbulkan pertanyaan etis," kata Kristin Diwan dari Arab Gulf States Institute di Washington.
"Merek Trump agak mencerminkan politik keluarga dan kepentingan publik-swasta yang tumpang tindih dari para raja Teluk itu sendiri," tambahnya.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Harris & Trump Angkat Bicara Soal Serangan Rudal Iran ke Israel
Next Article 'Neraka Bocor' Makin Ngeri! 100 Tewas di India-1000 di Arab, AS Bahaya