Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah pakar di berbagai lembaga penelitian hingga kampus memberikan analisis khusus terhadap gemuknya kabinet Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Potensi gemuknya kabinet itu terlihat seusai Prabowo memanggil calon menteri, wakil menteri, dan kepala badan ke kediamannya di Kertanegara awal pekan ini, serta pembekalan yang digelar di Hambalang, Bogor.
Kabinet Prabowo setidaknya akan berisi 108 orang, terdiri dari 49 nama yang dipanggil ke Kertanegara pada Senin (14/10/2024), dan 59 nama yang dipanggil Prabowo ke lokasi yang sama pada Selasa (15/10/2024).
Para peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat, dari total 108 kabinet itu mayoritas memiliki latar belakang politikus dengan proporsi sebesar 55,6% atau 60 orang dari 108 kandidat yang telah dipanggil.
Proporsi profesional teknokrat hanya sebesar 15,7% atau 17 dari 108 calon. Kemudian disusul kalangan TNI/POLRI (8,3%), pengusaha (7,4%), tokoh agama (4,6%), dan selebriti (2,8%). Sayangnya, hanya 5,6 persen yang berasal dari kalangan akademisi.
Dari sisi gender, perempuan yang namanya dipanggil untuk mengisi kabinet hanya 9,3% atau sejumlah 10 kandidat, sedangkan sisanya adalah laki-laki dengan jumlah sebanyak 98 orang atau setara 90,7% dari total nama yang dipanggil.
Selain itu, para peneliti Celios juga mencatat besarnya potensi pembengkakan anggaran untuk membiayai gaji para kandidat pejabat negara itu. Potensi pembengkakan belanja itu dengan membandingkan jumlah 108 kandidat dengan kabinet era Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang hanya 51 orang.
"Semakin banyaknya wakil menteri yang diangkat berarti akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, hingga pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri tersebut," kata Peneliti Celios, Galau D. Muhammad, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (17/10/2024).
Celios memperkirakan adanya potensi pembengkakan anggaran hingga Rp 1,95 triliun selama 5 tahun ke depan akibat koalisi gemuk. Angka ini belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.
Potensi pembengkakan anggaran itu memperhitungkan beban biaya gaji, tunjangan, dan operasional menteri dan wakil menteri era Jokowi yang sebanyak 51 orang dengan estimasi nilai Rp 387,6 miliar per tahun. Sedangkan era Prabowo dengan estimasi 108 orang menjadi Rp 777 miliar per tahun.
Dengan begitu ada peningkatan anggaran Rp 389,4 miliar per tahun dari kabinet era Jokowi dengan Prabowo setiap tahunnya. Maka, bila peningkatan anggaran itu dikali lima tahun atau selama masa jabatan Presiden Prabowo total peningkatan anggaran sekitar Rp 1,95 triliun.
"Estimasi ini adalah perhitungan sederhana dengan memperkirakan besaran anggaran jabatan tersebut belum termasuk biaya pembangunan fasilitas gedung baru. Angka yang lebih presisi dapat dihitung lebih detail setelah terbentuknya Kementerian yang baru," kata Direktur Keadilan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar.
Selain beban fiskal, Ekonom senior pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang juga merupakan Rektor Universitas Paramadina mengatakan, koalisi gemuk Prabowo yang didominasi politikus dari berbagai partai politik parlemen juga berpotensi mengganggu fungsi pengawasan DPR ke lembaga eksekutif ke depan.
Sebagaimana diketahui dari 55,6% atau 60 kandidat pengisi kursi kabinet Prabowo yang terafiliasi dengan partai politik, mayoritas atau 26,7% nya dari Partai Gerindra, 24,4% dari Golkar, 9% dari Demokrat, 9% dari PAN, 9% dari PKB, 7% dari PSI, 5% dari Gelora, 4% dari PBB, 2% dari PPP, 2% dari Partai Garuda, dan 2% dari Partai Prima.
Sebagaimana diketahui partai politik yang menguasai Parlemen untuk periode 2024-2029 yakni PDIP 110 kursi, Golkar 102 kursi, Gerindra 86 kursi, Nasdem 69 kursi, PKB 68 krusi, PKS 53 kursi, PAN 48 dan Demokrat 44 kursi.
"Kelak DPR juga tidak berfungsi dengan bagus, karena koalisi gemuk memungkinkan peran DPR menjadi lemah," ucap Didik dalam seminar bertajuk 'Koalisi Gemuk dan Antisipasi Kebocoran Anggaran.'
Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengingatkan, Ketika tidak ada kekuatan yang mampu menantang atau mempertanyakan kebijakan pemerintah, kebijakan ekonomi yang dihasilkan berpotensi tidak didasarkan pada evaluasi yang menyeluruh, sehingga menghasilkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya negara.
"Tanpa oposisi yang efektif, risiko terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan meningkat. Pemerintahan yang tidak diawasi cenderung lebih rentan terhadap praktik korupsi, nepotisme, dan pemborosan anggaran," ucap Achmad.
Ia juga menjelaskan, ketika pemerintahan berjalan tanpa adanya oposisi yang kuat karena mayoritas ditarik ke kabinet dapat menimbulkan keraguan terhadap kualitas tata kelola tersebut, yang berujung pada risiko lunturnya keyakinan investor.
"Jika pemerintahan Prabowo berjalan tanpa oposisi, seperti dalam skenario di mana PDIP masuk ke dalam kabinet, dampak ekonominya bisa sangat signifikan. Seperti yang sudah dijelaskan, tanpa adanya oposisi yang kuat, ada risiko besar bahwa pengawasan terhadap kebijakan ekonomi akan berkurang," ucapnya.
"Keputusan ekonomi dapat diambil dengan lebih cepat, tetapi tanpa adanya kritik atau penyeimbang, kebijakan yang dihasilkan mungkin kurang teruji dan tidak melalui mekanisme checks and balances yang diperlukan," tegas Achmad.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Sektor Ini Diprediksi Dulang Cuan Usai Pelantikan Presiden
Next Article Menteri Ini Tiba-tiba Minta Sri Mulyani Pangkas Target Utang Prabowo