Fondasinya Sudah Selesai, Saatnya Data Warga Indonesia Dibawa Pulang

4 weeks ago 13

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam 10 tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah RI agresif menarik aktivitas industri digital ke dalam negeri. Pemerintahan Jokowi menggebrak lewat dua aturan, memaksa platform digital memiliki perwakilan di dalam negeri dan kewajiban penempatan data secara lokal.

Salah satu isu terbesar dalam perekonomian digital adalah kehadiran model bisnis baru yang disebut sebagai bisnis over-the-top, yaitu platform online yang mendulang pendapatan dengan memanfaatkan infrastruktur internet. Hampir semua perusahaan over-the-top (OTT) adalah raksasa teknologi global yang memilih mengelola bisnisnya dari jarak jauh.

Dampaknya adalah, perusahaan seperti Google, Facebook, dan Netflix bisa mencari uang di Indonesia tanpa merekrut pegawai lokal atau membayar pajak di Indonesia. Bahkan, data milik dan tentang warga RI disimpan di lokasi lain.

Pertumbuhan pesat bisnis digital yang mayoritas dikuasai oleh asing dan menjadikan warga RI hanya sebagai konsumen adalah salah satu yang mendorong Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah no. 71 tahun 2019.

Dalam beleid tersebut, semua platform digital yang diberikan kategori sebagai "Penyelenggara Sistem Elektronik" harus mendaftarkan diri. Salah satu syarat pendaftaran adalah mereka harus memiliki perwakilan di RI.

Aturan ini memang sempat membuat heboh warganet RI. Tak jarang, netizen mencibir ancaman pemerintah untuk memblokir aplikasi dan website milik perusahaan asing yang "bandel." Namun, pemerintah bergeming dan konsisten mewajibkan semua PSE asing untuk mendaftarkan diri.

"Bayangkan jika Indonesia tidak memiliki sistem pendaftaran, seluruh PSE beroperasi tanpa ada pengawasan, koordinasi, dan pencatatan. Efeknya, jika terjadi pelanggaran hukum di wilayah hukum Indonesia, kita akan kesulitan koordinasi dengan PSE," kata Juru Bicara Kominfo Dedy Permadi di Gedung Kemkominfo.

Kominfo menambahkan bahwa tujuan lain dari kewajiban pendaftaran bagi PSE Lingkup Privat adalah kesetaraan, termasuk kewajiban perpajakan. Tanpa kesetaraan, platform lokal buatan anak bangsa makin sulit bersaing dengan platform milik perusahaan raksasa asal China dan Amerika Serikat.

Kombinasi antara aturan pendaftaran PSE yang diterbitkan Kominfo dan aturan perpajakan yang diterbitkan Kementerian Keuangan berhasil memastikan pendapatan negara dari aktivitas ekonomi digital di Indonesia tidak hilang.

Tepatnya 1 Juli 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% untuk semua produk digital. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 48 tahun 2020.

Artinya sejak aturan itu berlaku, semua perusahaan digital yang melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang beroperasi di Indonesia seperti Netflix dan Google harus membayar PPN.

Menurut laporan terbaru DJP, nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) mencapai Rp 6,14 triliun. Pajak ini dikumpulkan dari total 168 PMSE hingga September 2024.

Sementara itu, penerimaan pajak kripto mencapai Rp 446,92 miliar hingga September 2024 (year to date/ytd). Lalu, pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp 1,02 triliun (ytd).

Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP mencapai Rp863,6 miliar. Adapun, secara keseluruhan PPN sektor usaha ekonomi digital ini telah mencapai Rp 28,91 triliun sejak 2020.

Dalam PP no. 71/2009, pemerintah juga mewajibkan data disimpan di dalam negeri. Setiap penyelenggaraan sistem elektronik (PSE) lingkup publik, wajib melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan sistem/data elektronik di Indonesia.

Pada prinsipnya data-data yang menyangkut kepentingan sektor publik harus ditempatkan di dalam negeri, sehingga memudahkan untuk melakukan pengawasan data hingga pertukaran data.

Untuk sektor privat, memang kewajiban untuk menyimpan data di dalam negeri hanya berlaku untuk data transaksi keuangan. Namun, kebijakan "onshoring" data ini cukup kuat untuk menyulut ledakan industri data center di RI.

Presiden Direktur PT DCI Indonesia Tbk, Otto Toto diacara Data Center Industry Dialogue CNBC Indonesia dengan tema Presiden Direktur PT DCI Indonesia Tbk, Otto Toto diacara Data Center Industry Dialogue CNBC Indonesia dengan tema "Green Energy Masterplan" pada Rabu (11/9/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Pertumbuhan industri data center bisa tecermin dari salah satu perusahaan data center dalam negeri di Bursa Efek Indonesia. Harga saham PT DCI Indonesia Tbk. yang dilepas di harga awal Rp 420 pada 2021, kini ada di harga Rp 46.450 per lembar. Kesuksesan DCI menarik perusahaan-perusahaan besar RI lainnya seperti Sinar Mas dan Salim Group untuk ikut berinvestasi di industri data center.

PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. lewat NeutraDC juga agresif membangun jaringan data center hingga wilayah di luar kota besar. Begitu juga PT Indosat Tbk. yang kini fokus membangun fondasi pengembangan teknologi kecerdasan buatan lewat kerja sama dengan NVIDIA.

Diproyeksikan, pengeluaran untuk pembangunan dan pengembangan pusat data di wilayah Jakarta dan sekitarnya akan mencapai US$395 miliar pada tahun 2023, dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 22,3% hingga 2028. Angka-angka ini mencerminkan lonjakan kebutuhan yang luar biasa terhadap kapasitas pusat data, yang diprediksi akan melonjak dari sekitar 151,5 MW menjadi 462,8 MW pada tahun 2028.

Namun, pekerjaan rumah masih panjang. Data warga RI yang dieksploitasi oleh perusahaan asing seperti TikTok dan Instagram disebut masih disimpan di luar negeri karena tidak diwajibkan untuk disimpan secara lokal. Kabarnya, celah ini akan ditutup oleh revisi untuk mewajibkan semua data warga RI untuk disimpan di Indonesia.

Masih soal data, pemerintah Presiden Jokowi dan DPR juga telah menerbitkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi. UU PDP disebut akan menjadi era baru dalam tata kelola data pribadi di dalam negeri, khususnya di ranah digital.

Dalam UU PDP, sanksi besar mengancam perusahaan yang gagal melindungi data pribadi milik warga RI termasuk denda yang ditetapkan berdasarkan pendapatan kotor perusahaan.

Fondasi yang dibentuk oleh kepastian hukum yang dibangun oleh UU PDP dan "paksaan" dari PP 71/2019 diharapkan bisa menjadi struktur yang kuat bagi perekonomian digital Indonesia.

Indonesia yang selama ini hanya menjadi konsumen "yang diperas" oleh raksasa teknologi, seharusnya bisa memulai proses "hilirisasi digital" untuk bertransformasi menjadi salah satu pusat ekonomi digital global.


(dem/dem)

Saksikan video di bawah ini:

Video: 10 Tahun Jokowi Membangun Negeri

Next Article Rebut Sumber Dolar Baru RI, Krisis Besar Ancam Malaysia

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|