Jakarta, CNBC Indonesia - Akses Indonesia terhadap obat-obatan baru terbatas hanya 9%, salah satu yang terendah di kawasan Asia-Pasifik. Kondisi ini menyebabkan kualitas kesehatan yang kurang optimal dan berdampak negatif pada tingkat produktivitas.
Hal ini berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi hingga US$ 130 miliar atau lebih dari Rp 2.059,20 triliun (Rp 15.840/US$) per tahun. Angka ini setara dengan 14% dari PDB Indonesia. Temuan dari riset Oliver Wyman ini dikemukakan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG).
Mengacu pada masalah, IPMG merilis sebuah manifesto ini mengurai peta jalan untuk transformasi sistem kesehatan dan mengajak untuk terjalinnya kemitraan yang efektif dan berkelanjutan antara pemerintah dan seluruh mitra kesehatan.
Ketua Umum IPMG Dr. Ait-Allah Mejri, mengatakan akses terhadap obat-obatan inovatif bukan hanya merupakan isu kesehatan, tetapi juga prioritas ekonomi nasional.
"Dengan menyusun strategi yang kohesif, Indonesia dapat mengurangi kehilangan produktivitas akibat penyakit dan mendorong pertumbuhan di berbagai sektor ekonomi," ujarnya, dikutip Kamis (14/11/2024).
"Manifesto IPMG menyoroti langkah-langkah krusial untuk mencapai dua tujuan tersebut, dan kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah serta para pemangku kepentingan untuk mewujudkannya," papar Ait.
Ait pun mengungkapkan mengatasi keterbatasan ketersediaan dan akses obat-obatan baru, IPMG mendorong sinergi dengan para pemangku kepentingan di sektor kesehatan membentuk sebuah tim khusus untuk mengembangkan dan mengimplementasikan "Strategi Nasional untuk Obat-obatan dan Vaksin Inovatif."
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Pasifik sekaligus membangun infrastruktur kesehatan yang tangguh yang dapat mendorong inovasi dan memperluas akses layanan kesehatan. Selain itu, IPMG juga menyerukan agar dilakukan tinjauan terhadap sistem negosiasi dan pengadaan obat di BPJS Kesehatan saat ini dengan cara mengutamakan sebuah model yang menjamin transparansi, efisiensi, dan keberlanjutan.
Dalam manifesto ini, IPMG juga menekankan perlunya penguatan kerangka regulasi yang lebih baik serta peningkatan proses Penilaian Teknologi Kesehatan / Health Technology Assessment (HTA). Keterlibatan industri dalam HTA dan inisiatif pembangunan kapasitas di lembaga-lembaga HTA nasional dianggap sebagai langkah-langkah penting menuju terciptanya sektor kesehatan yang berkelanjutan.
Manifesto ini juga menekankan pentingnya kolaborasi untuk akses layanan kesehatan yang tepat waktu. Tersedianya akses bagi penerima manfaat BPJS Kesehatan terhadap sebagian obat-obatan baru pada umumnya membutuhkan rata-rata waktu 71 bulan sejak pertama kali diluncurkan di tingkat dunia.
"Keterlambatan ini menyebabkan sekitar 2 juta orang Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain mencari pengobatan di luar negeri setiap tahunnya, yang berkontribusi pada kerugian devisa hingga US$ 11,5 miliar (Rp 180 triliun)," ujar Ait.
Ait juga menegaskan manifesto IPMG juga menekankan pentingnya kemitraan strategis dan investasi di sektor kesehatan, serta mendorong pendanaan yang lebih baik untuk sektor kesehatan guna meningkatkan ketahanan dan efisiensi.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Netanyahu Siap Caplok Tepi Barat Saat Trump Resmi Menjabat
Next Article Video: Harga Obat RI Mahal Hingga Ukraina Terancam Bayar Utang