Ramai-Ramai Asing Serbu Malaysia dibanding RI, Ternyata Ini Alasannya

2 months ago 24

Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan teknologi asing ramai-ramai menyerbu Malaysia untuk berinvestasi data center. Beberapa di antaranya ada ByteDance yang menggelontorkan US$ 350 juta dan Microsoft yang membeli lahan 49 hektar senilai US$ 95 juta.

Ada juga Google yang menggelontorkan dana US$ 2 miliar pada Juni lalu. Investasi tersebut untuk membangun pusat data dan wilayah cloud pertama di negara itu.

Baru-baru ini, Blackstone membayar US$ 16 miliar untuk membeli operator data center AirTrunk yang salah satu lokasinya di Johor. Lalu, Oracle juga mengumumkan investasi US$ 6,5 miliar untuk sektor data center di Malaysia, meski tak menyebut spesifik lokasinya.

Secara keseluruhan, investasi data center di Johor yang bisa digunakan untuk teknologi kecerdasan buatan (AI) dan komputasi cloud diestimasikan mencapai US$ 3,8 miliar pada tahun ini menurut Maybank.

"Sepintas, Johor tak menarik. Tetapi kalau diperhatikan lagi, sangat masuk akal [berinvestasi di Johor]," kata Senior managing director Blackstone, Peng Wei Tan, yang memimpin akuisisi AirTrunk, dikutip dari Wall Street Journal, Minggu (13/10/2024).

Diketahui Malaysia menjadi salah satu negara yang paling cepat merespons popularitas teknologi AI. Terutama dari sektor pembangunan infrastruktur pusat data.

Pemerintah Malaysia memusatkan wilayah Johor sebagai sarang data center AI untuk memenuhi kebutuhan yang membludak akan penyimpanan, pengelolaan, dan pelatihan sistem AI.

Padahal, tiga tahun lalu, Johor merupakan lahan yang diperuntukan bagi industri perkebunan kelapa sawit. Kini, jarak 100 mil dari pohon-pohon tropis tersebut, dibangun gedung-gedung data center yang membentuk proyek konstruksi AI terbesar di dunia.

Alasan Asing Ramai ke Malaysia

Alasan asing ramai-ramai ke Malaysia karena kebutuhan yang membludak dari raksasa teknologi untuk melatih chatbot, mengembangkan mobil tanpa awak, serta adopsi teknologi AI lainnya secepat mungkin.

Untuk mengakomodasi kebutuhan itu, mereka membutuhkan data center yang mencakup ribuan cip komputer. Infrastruktur itu membutuhkan kapasitas listrik yang besar dan sumber daya air untuk pendinginan.

Virginia Utara, Amerika Serikat, selama ini dikenal sebagai pasar data center terbesar di dunia karena kapasitas listrik, lahan, dan air yang mumpuni. Namun, suplainya makin tergerus.

Raksasa teknologi juga tak bisa mengandalkan satu lokasi saja di AS untuk membangun data center yang banyak. Maka, raksasa teknologi melirik wilayah lain yang juga menyediakan lahan, listrik, dan air dalam jumlah besar.

Johor memiliki daya tarik karena mengakomodasi semua kebutuhan itu. Terlebih, Malaysia juga memiliki hubungan yang baik dengan AS dan China, sehingga memperkecil risiko politik untuk perusahaan-perusahaan yang hendak berinvestasi.

Faktor penting lainnya adalah lokasi yang dekat dengan perbatasan Singapura, yakni jalur kabel internet bawah laut paling padat di dunia.

"Pengembangan fasilitas di Johor tak hanya untuk melayani Malaysia. Namun, AI juga disalurkan secara global," kata CEO Princeton Digital Group, Rangu Salgame.

Princeton Digital Group merupakan operator data center yang memiliki beberapa klien raksasa teknologi terbesar di dunia.

Malaysia Geser Singapura

Salgame mengatakan banyak perusahaan yang sebelumnya membangun data center di Singapura karena interkonektivitas yang tersedia. Namun, pada 2019, Singapura yang padat populasi memberlakukan moratorium yang mempersulit pembangunan data center. Hal ini dipicu penggunaan energi yang berlebihan di negara tersebut.

Melihat potensi yang besar, Singapura sejatinya kembali mengizinkan penambahan data center baru dengan kapasitas 300 MW selama menggunakan sumber energi hijau. Rencana tersebut tertuang dalam "Peta Jalan Pusat Data Ramah Lingkungan" yang dirancang membantu mendukung pusat data di negara kota tersebut.

Namun, para operator data center sudah lebih dulu menemukan wilayah baru untuk pembangunan fasilitas data center, yakni di tetangga Singapura.

Amazon, Google, Meta, dan beberapa raksasa teknologi memang menjalankan sendiri data center mereka. Namun, mereka juga tetap mengandalkan pihak ketiga untuk 30% kebutuhan di AS dan sekitar 90% kebutuhan global, menurut Salgame.

Kebanyakan data center di Johor dijalankan oleh pihak ketiga, sehingga tak memiliki kesepakatan langsung dengan perusahaan teknologi sebelum proyek dimulai.

Setiap data center yang dibangun vendor pihak ketiga bernilai sekitar US$ 1-2 miliar. Jadi, perusahaan teknologi berlaku sebagai tenant dengan memasang hardware mereka sendiri di dalam fasilitas data center.

Salgame memprediksi Malaysia akan menjadi pasar data center terbesar ke-2 di dunia dalam 5 tahun ke depan.

Pengukuran industri data center bisa dilihat dari kapasitas listrik yang digunakan. Virginia Utara memiliki kapasitas aktif 4,2 GW dan tambahan 11,4 GW yang sedang dibangun.

Johor yang pada 3 tahun lalu memiliki kapasitas di bawah 10 MW, kini sudah mencapai 0,34 GW yang aktif dan tambahan 2,6 GW yang sedang dibangun.

Ancaman Krisis Air dan Listrik di Malaysia

Peran pemerintah sangat penting dalam menyulap Johor sebagai kekuatan data center baru di Asia. Pemerintah menarik minat investor dengan memudahkan proses perizinan.

Salgame mengatakan pengajuan, pembangunan, dan pengoperasian data center perusahaannya di Johor hanya memakan waktu sekitar 15 bulan.

Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO) Hendra Suryakusuma mengatakan Malaysia memberikan banyak insentif untuk pelaku data center. Perusahaan dengan teknologi green juga mendapatkan insentif yang lebih banyak.

"Kalau di Indonesia, ini memang belum terjadi, tapi kalau pemerintah lewat RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan) yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI berhasil memberikan tambahan insentif dari sisi green initiative, itu akan sangat mendorong tumbuhnya industri data center di Indonesia yang saat ini tumbuh 20-30 persen per tahunnya," kata Hendra dalam Profit di CNBC Indonesia, beberapa saat lalu.

Kendati demikian, ancaman kebutuhan listrik dan air juga menghantui Malaysia. Riset Bank Investasi Kenanga memprediksi kebutuhan listrik dari data center di sana mencapai 5 gigawatt pada 2035.

Wali Kota Johor Bahru Mohd Noorazam Osman mengatakan pemerintah harus menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Ia meminta pembangunan pabrik desalinasi yang bisa mengubah air laut atau air payau menjadi air tawar. Hal ini untuk memastikan kebutuhan air masyarakat lokal tetap terpenuhi. Sebab, area Johor Bahru mulai menghadapi krisis air gara-gara dialokasikan untuk data center.

Pejabat Komite Investasi, Perdagangan, dan Konsumen setempat juga mengatakan pemerintah perlu memberikan panduan jelas soal implementasi penggunaan data center energi hijau di kota tersebut.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Industri Cloud RI Vs Negara Tetangga, Siapa Lebih Menarik?

Next Article Dorong Investasi Data Center, Pemerintah Siap Lakukan Ini!

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|