Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) hingga penutupan perdagangan Selasa (3/12/2024) seiring dengan penantian investor terkait sinyal arah kebijakan suku bunga Bank sentral AS (The Fed).
Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan hari ini (2/12/2024) rupiah tertekan hingga 0,25% dan berakhir di level Rp15.935/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.958/US$ hingga Rp15.900/US$.
Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) juga alami pelemahan tipis 0,05% tepat pukul 15.00 ke posisi 106,39.
Pelemahan nilai tukar rupiah bersamaan dengan sikap investor yang masih menunggu arah kebijakan moneter The Fed terkait pemangkasan suku bunga Bank sentral AS.
Gubernur The Fed, Christopher Waller, menyatakan dukungannya terhadap potensi pemotongan suku bunga lebih lanjut dalam pertemuan bulan Desember.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa kebijakan moneter masih cukup ketat untuk menjaga stabilitas inflasi menuju target 2%. Ekspektasi pasar terhadap pemotongan suku bunga 25 basis poin kini mencapai 75%.
Sentimen lainnya datang dari pidato Jerome Powell yang dijadwalkan pada Kamis (5/12/2024) dini hari.
Investor menantikan arah kebijakan moneter The Fed setelah rilis notulen FOMC bulan November yang menunjukkan inflasi sedang melambat dan pasar tenaga kerja tetap solid. Hal ini semakin menguatkan keyakinan akan adanya pemotongan suku bunga lanjutan.
Dari sisi data, laporan pembukaan pekerjaan di AS yang diproyeksikan meningkat menjadi 7,49 juta lowongan juga memberikan tekanan tambahan pada rupiah.
Di sisi lain, sentimen eksternal lain turut menekan rupiah, termasuk rencana OPEC+ untuk memperpanjang pemotongan produksi minyak hingga akhir kuartal pertama 2024.
Langkah ini bertujuan untuk menjaga kestabilan harga minyak di tengah ketidakpastian geopolitik, khususnya akibat perang yang terus memanas di kawasan Timur Tengah.
Ketegangan di Suriah, dengan serangan intensif oleh Rusia, turut menciptakan ketidakpastian di pasar global.
Konflik ini dikhawatirkan dapat memicu lonjakan harga komoditas energi dan mempengaruhi aliran modal ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Masih Penuh Tekanan, IHSG "Terancam" Merosot ke Level 7.000-an
Next Article Ketidakpastian Global Bikin Waswas, Dolar AS Turun ke Rp16.365