Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Rusia mengerahkan tentara dari Pasukan Rudal Strategisnya, yang biasanya mengkhususkan diri dalam pengoperasian persenjataan nuklir, ke Ukraina. Hal ini terjadi saat negara itu mengubah doktrin nuklirnya dalam kondisi perang dengan tetangganya itu.
Media Ukraina, Militarnyi, menyebut pengerahan ini dilakukan lantaran Rusia kekurangan jumlah personil di medan perang. Unit tersebut juga dilaporkan diberi stasiun radio sipil China karena belum dilengkapi dengan sarana komunikasi yang diperlukan.
"Pengerahan anggota Pasukan Rudal Strategis oleh Rusia untuk meningkatkan upaya perangnya terjadi di tengah laporan, yang mengutip data dari Kementerian Pertahanan Ukraina, tentang kerugian besar dalam satu hari," lapor media itu sebagaimana dikutip Newsweek, Rabu (23/10/2024).
Belum ada informasi resmi terkait hal ini dari Rusia. Ukraina, di sisi lain, juga belum mengomentari adanya pengerahan semacam ini oleh musuhnya.
Sebelumnya, pejabat Ukraina melaporkan pada Rabu pagi bahwa pasukan Rusia kehilangan 1.460 tentara dalam kurun waktu 24 jam, sehingga total kerugian personel militer Moskow sejak Februari 2022 menjadi 683.040.
Namun, Rusia tidak secara rutin mengumumkan kerugian militernya, dan para analis bersikap skeptis terhadap laporan dari kedua belah pihak yang berkonflik. Akan tetapi, Moskow secara rutin melaporkan bahwa lebih dari 1.000 pejuang Ukraina tewas atau terluka setiap hari.
"Baik Rusia maupun Ukraina menghadapi masalah serius terkait jumlah personel," kata seorang peneliti keamanan nasional di lembaga pemikir Council on Geostrategy, William Freer.
"Setelah pasokan amunisi, penggantian korban adalah aspek terpenting kedua bagi kedua belah pihak dalam memenangkan perang yang menguras tenaga," katanya.
Perang antara Rusia dan Ukraina pecah pada 24 Februari 2022 lalu. Moskow menyebut bahwa serangannya dilakukan lantaran untuk membebaskan masyarakat etnis Rusia yang berada di Timur negara itu, selain langkah ini diambil untuk menahan Kyiv dalam bergabung kepada aliansi NATO, yang merupakan rival Moskow.
Di sisi lain, Ukraina mendapatkan sokongan yang cukup besar dari patron NATO seperti Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara-negara Eropa. Kyiv bahkan mulai menggunakan senjata yang disokong aliansi itu untuk menyerang ke wilayah Rusia.
Hal ini memicu Presiden Rusia Vladimir Putin merubah doktrin nuklirnya. Dalam doktrin yang direvisi, setiap agresi ke Rusia oleh negara non-nuklir dengan partisipasi atau dukungan negara nuklir dapat dianggap sebagai serangan bersama dan melewati ambang batas nuklir.
Perubahan ini pun berlaku untuk serangan Ukraina yang, misalnya, menembus Rusia dengan pasokan senjata dari negara raksasa NATO seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, atau Prancis.
Perlu diketahui, dalam tulisannya di 2022, ekonom Nouriel Roubini merujuk eskalasi konflik Rusia-Ukraina sebagai biang keladi "perang nuklir". Ia mengatakan konflik itu sudah menandai awal dari pertempuran global.
"Dalam beberapa hal, Perang Dunia III (PD 3) sudah dimulai," kata Roubini yang juga disebut 'Dr. Doom', disampaikannya dalam Yahoo Finance's 2022 All Markets Summit Senin lalu, mengutip FinancialTribune.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pasukan Putin Tak Terbendung, Rusia Segera Rebut Kota Toretsk
Next Article Pasukan Putin Menggila, Rusia Mulai Kuasai Kota Strategis Ukraina