Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Prabowo Subianto baru saja melantik tujuh Penasihat Khusus Presiden pada Kabinet Merah Putih periode 2024-2029. Salah satu yang dilantik adalah Purnomo Yusgiantoro, didapuk sebagai Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi.
Usai dilantik Prabowo, Purnomo blak-blakan perihal kebijakan sektor energi di Indonesia. Pertama, Purnomo menyebutkan dirinya akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai kementerian yang mengurus sektor energi dan pertambangan di Indonesia.
"Satu, kan kita mesti ada Departemen Pertambangan dan Energi, (yaitu Kementerian) ESDM, jadi kita akan lakukan koordinasi dengan mereka, karena kan ESDM sebagai eksekutornya," jelas Purnomo saat ditemui usai acara Seminar Publik Centre For Science and International Studies (CSIS), di Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Dia menyebutkan, hal yang perlu dikoordinasikan dengan Kementerian ESDM adalah menyangkut kebijakan strategis sektor energi, khususnya terkait undang-undang yang ada.
Purnomo mengatakan bahwa koordinasi yang akan dilakukan antara pihaknya dengan Kementerian ESDM adalah mengkaji kembali peraturan sektor energi yang harus diperbaiki ataupun melanjutkan kebijakan yang dinilai bagus untuk Tanah Air.
"Ada beberapa yang terkait tingkat yang strategis yang menyangkut undang-undang, menyangkut aturan-aturan yang level strategis, level taktis, level operasional, juga kita harus kita lihat kembali. Tapi basic-nya kalau memang ada yang bisa kita teruskan kita teruskan kebijakan-kebijakan yang lalu, tp kalaupun ada yang kita perbaiki kita perbaiki," tambahnya.
Potensi Bioetanol dan Biodiesel RI
Purnomo memaparkan ada sumber energi bersih yang bisa menggantikan energi fosil, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia.
Salah satu negara yang dinilai bisa dicontoh oleh Indonesia adalah Brasil. Namun dia menegaskan kesuksesan Brasil, khususnya dalam mengembangkan bioetanol, tidak lain karena Brasil sendiri tidak memiliki sumber energi fosil seperti minyak mentah untuk bisa dimanfaatkan di negara tersebut.
"Kita mestinya belajar dari Brasil, Brasil itu (pengembangan) etanol bagus. Tapi ingat, pada waktu etanol dikembangkan di Brazil karena Brasil nggak ada minyak waktu itu. Jadi dia terpaksa tergantung dari energinya tebu (menjadi) etanol, kembangin bioetanol sukses," ujar Purnomo.
Berbeda kondisi dengan Brasil, Indonesia sendiri di masa lampau terhitung masih memiliki sumber daya minyak yang mumpuni. Namun seiring waktu berlalu, Purnomo mengatakan bahwa tingkat kebutuhan Indonesia akan energi terus meningkat. Dengan begitu, Indonesia dinilai perlu mengembangkan sumber energi lain, salah satunya melalui bioetanol dan biodiesel.
"Tetapi sekarang kita harus sadar demand side management, biodiesel itu kan bertahap dulu mulai zaman kita, tahun 2007, B0, B5, tapi kan nggak bisa cepat-cepat ya, B7 sekarang B35, mudah-mudahan bisa naik ke B40," ungkapnya.
Hal yang perlu diperhatikan lainnya, lanjut Purnomo, adalah ketersediaan lahan untuk pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN), termasuk biodiesel dan bioetanol, di Indonesia. Dia menegaskan bahwa sisi nilai keekonomian dari sumber BBN tersebut juga perlu diperhatikan untuk bisa menggantikan minyak di dalam negeri.
"Tapi di sisi lain kan mesti ada lahannya, lahan yang bisa dikembangkan. Di sisi lain lagi, kan ini kalau pilihannya kan kalau itu bisa untuk CPO (minyak sawit) dan untuk yang lain-lain, ini ujung-ujungnya bagaimana keekonomiannya, makanya kalau ada biodiesel, memungkinkan nggak dengan (pengembangan) bioetanol, atau diesel diganti gas, gas kita masih cukup bagus," imbuhnya.
Potensi Gas Jumbo
Purnomo lebih lanjut mengungkapkan bahwa Indonesia sejatinya menyimpan potensi gas bumi dalam negeri yang melimpah.
Dia mengatakan Indonesia memiliki sumber gas dalam negeri yang belum dimaksimalkan pengembangannya. Dia mengatakan sumber gas Indonesia yang terkira ada di berbagai wilayah di Indonesia.
"Gas kita masih cukup bagus, cadangan kita juga masih cukup lumayan. Tapi walaupun banyak sebenarnya cadangan yang harus kita kembangkan," ujar Purnomo.
Detailnya, dia menyebutkan Indonesia masih harus mengembangkan potensi gas di berbagai wilayah kerja (WK) seperti di Andaman, Sakakemang, Masela, IDD, Tangguh, hingga Kasuri.
"Gas itu Andaman, Sakakemang Madura, Masela D-Alpha Natuna gede sekali itu (gasnya), terus di Kalimantan itu ada IDD Gehem Ganal, terus Tangguh, Tangguh sekarang sudah Tangguh 3, sebentar lagi Tangguh 4. Lalu di bawah Tangguh, lapangan gas gede di Kasuri," bebernya.
Dengan banyaknya potensi sumber gas dalam negeri, Purnomo mengatakan sebaiknya Indonesia bisa memaksimalkan potensi tersebut agar bisa memasok kebutuhan gas di Indonesia.
"Nah yang terbaik ya buka semua udah," tandasnya.
Upaya Genjot Produksi Minyak RI
Purnomo juga mengungkapkan hal yang harus dilakukan agar Indonesia bisa menggenjot produksi minyak yang terpantau terus turun dari tahun ke tahun.
Dia mengatakan, Indonesia sejatinya memiliki potensi sumber minyak yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Namun, dia menekankan bahwa untuk bisa melanjutkan eksplorasi sumber minyak di dalam negeri, dibutuhkan kebijakan yang bisa menggaet investor untuk berinvestasi khususnya sektor minyak di Indonesia.
Purnomo menyebutkan hal yang bisa membuat investor sektor minyak berinvestasi di Tanah Air adalah dengan memberikan 'pemanis' atau sweetener bagi investor minyak. Agar kebijakan investasi sektor minyak bisa menarik, lanjut Purnomo, harus ada koordinasi antar kementerian yang bersangkutan di Indonesia.
"Kalau mau kita lakukan eksplorasi, masih ada (potensi minyak) tadi kan map-map-nya yang saya buka tadi, jadi daerah-daerah itu masih potensial masih ada (potensi minyak). Cuma, sekarang itu bagaimana kita narik investasi, kalau kita mau narik investasi ya koordinasi antar kementerian juga perlu karena di satu sisi kalau kita menarik investasi itu kan mesti ada sweetener bagi mereka," beber Purnomo.
Misalnya, kata Purnomo, sumber minyak 'jumbo' di Indonesia terdeteksi di Blok Migas Masela, Maluku bahkan sejak puluhan tahun yang lalu. Namun hingga saat ini Blok Masela yang diperkirakan memiliki potensi minyak 35 ribu barel per hari (bph) tersebut masih belum berproduksi.
Bahkan, melihat runut ke belakang, perusahaan asing yang sebelumnya memiliki hak partisipasi di Masela yakni Shell, 'angkat kaki' dari proyek tersebut dan digantikan oleh kerja sama Pertamina dan Petronas.
Kembali pada upaya peningkatan produksi minyak dalam negeri, Purnomo menekankan, keputusan politis di Indonesia berperan penting. Dia menilai jangan sampai 'sweetener' investasi jika diberlakukan di Indonesia membuat membuat kedaulatan Tanah Air terganggu.
"Di sisi lain kalau itu (kebijakan investasi) terlalu dibukanya menarik nantinya juga banyak yang tanya, lho kok diberikan sama investor asing, jadi ini political decision penting. Keputusan politik itu penting sekali bagaimana kalau kita menarik, kita berikan sweetener, tapi sovereignty kita tidak terganggu, kedaulatan kita, itu susah sekali," tandasnya.
Skema Subsidi BBM Cs
Terakhir, Purnomo mengungkapkan kemungkinan skema pengganti subsidi energi yang saat ini berlaku, termasuk subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia.
Purnomo mengungkapkan bahwa saat ini memang subsidi yang dikerahkan pemerintah untuk sektor energi belum tepat sasaran.
"Betul itu dikatakan ... tambah gede," ujar Purnomo saat ditanya perihal subsidi energi termasuk untuk BBM dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang belum tepat sasaran.
Purnomo mengungkapkan bahwa ada dua kemungkinan skema subsidi BBM cs yang bisa diberlakukan di Indonesia agar subsidi yang dikerahkan pemerintah bisa tepat sasaran. Dia mengatakan kedua skema subsidi energi di Indonesia tersebut harus dipertimbangkan matang-matang.
"Ada dua pilihan, selalu saya katakan kalau itu pilihan ujung-ujungnya keputusan politik, political decision antara legislatif dan eksekutif," tegasnya.
Pertama, Purnomo mengatakan bahwa skema subsidi BBM cs yang saat ini masih dikerahkan untuk produknya, bisa diubah menjadi bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat yang membutuhkan.
Dia mengungkapkan hal itu bisa membuat harga BBM cs yang saat ini disubsidi oleh pemerintah naik harga menuju harga keekonomiannya.
"Satu, kalau aku mau make subsidi langsung harga harus bertahap naik sampai ke harga keekonomian harga pasar, tapi kemudian kan ada pendapatan tambahan itu dikembalikan ke rakyat dengan BLT atau dengan cash transfer, satu," kata Purnomo.
Kedua, lanjut Purnomo, skema subsidi yang bisa dilakukan adalah dengan sistem kuota, alias subsidi masih diberikan pada jenis produknya, namun perlu ada pemutakhiran data masyarakat yang memang berhak menerima atau membeli produk energi yang disubsidi tersebut.
"Pilihan kedua, seperti sekarang, tapi pakai sistem kuota, jadi targeted," paparnya.
Dengan begitu, Purnomo menilai pemerintah harus memutar otak untuk menentukan skema subsidi apa yang cocok untuk diberlakukan khususnya untuk BBM cs.
"Berarti kan nggak tepat sasaran, itu yang mesti di-review juga untuk beberapa komoditi yang subsidi Pertalite, Solar, B35, LPG, minyak tanah, (listrik golongan) R1, R2," tandasnya.
(wia)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Lifting Minyak 10 Tahun Jokowi Terus Turun, Apa Masalahnya?
Next Article Sebelum Setop Impor BBM, Prabowo Perlu Perhatikan Isu Ini