Kabinet Gemuk Presiden Prabowo: Perdebatan Zaken Hingga Beban APBN

3 days ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden ke-8 negara ini, masyarakat mulai bertanya-tanya mengenai posisi pembantunya. Bahkan muncul pertanyaan sebesar apa kabinet Prabowo yang didukung oleh koalisi mayoritas partai untuk menjadi orang nomor 1 di Indonesia.

Prabowo didukung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang terdiri dari Partai Gerindra yang menjadi motor utama koalisi ini. Kemudian, Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat. Juga partai non-parlemen seperti PSI, Partai Gelora, Partai Bulan Bintang, Partai Garuda, dan Partai Prima.

Setelah pilpres, koalisi ini pun semakin membengkak. Saat itu, partai politik yang sempat menjadi lawan KIM seperti PKS, PKB, PPP, Perindo, dan Nasdem bergabung, yang kini dinamakan sebagai KIM Plus. Bergabungnya partai di luar pendukung pencalonan Prabowo - Gibran ini diproyeksikan untuk kontestasi Pilkada 2024.

Hingga pada acara BNI Investor Daily Summit 2024, di JCC Senayan, Rabu (9/10/2024), pertanyaan itu akhirnya terjawab. Prabowo terang-terangan menyebut didukung oleh koalisi yang besar, hingga akan membentuk kabinet yang gemuk.

Saat itu, DPR dan pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, juga sedang merevisi Undang-Undang Kementerian Negara yang tidak lagi membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34.

"Saya ingin membentuk pemerintahan persatuan nasional yang kuat. Terpaksa koalisinya besar. Nanti akan dibilang 'huh kabinet Prabowo kabinet gemuk, banyak'. Ya negara kita besar, bung!" kata Prabowo saat memberikan sambutan.

Prabowo melanjutkan, ia ingin merangkul semua kelompok. Sehingga harus ada perwakilan dari berbagai pihak.

Pengumuman Kabinet
Prabowo dilantik menjadi presiden ke-8 RI pada 20 Oktober 2024 di gedung MPR RI. Malam harinya, Prabowo langsung mengumumkan nama-nama menteri untuk lima tahun mendatang.

"Dengan kesepakatan para ketua umum koalisi kami, kami beri nama kabinet ini Kabinet Merah Putih," kata Prabowo, yang didampingi Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (20/10/2024) malam.

Saat itu, Prabowo mengumumkan 48 nama menteri yang dipanggil satu per satu. Perinciannya ada tujuh Menteri Koordinator dan 41 menteri teknis. Ia juga mengumumkan lima pejabat setingkat menteri di luar koordinasi kementerian koordinator seperti Jaksa Agung hingga Sekretaris Kabinet.

Jumlah menteri ini juga jauh lebih banyak dari pemerintahan Joko Widodo, yakni berjumlah 34 yang terdiri dari empat kementerian koordinator dan 30 menteri teknis.
Keesokan harinya, Prabowo juga mengumumkan nama-nama wakil menteri termasuk jabatan penasihat hingga utusan khusus. Ada 56 nama wakil menteri yang diumumkan.

Prabowo melantik 109 pejabat negara, dengan perincian 48 menteri, 56 wakil menteri, serta lima pejabat setingkat menteri. Belum termasuk penasihat khusus, staf khusus, hingga utusan khusus presiden.

Pembentukan Kabinet Gemuk Pemerintahan Prabowo ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Beleid ini disetujui oleh DPR RI dan ditandatangani Presiden Joko Widodo 15 Oktober 2024 atau lima hari menjelang masa pemerintahannya.

Perdebatan Kabinet Zaken hingga Beban Anggaran Kabinet Gemuk
Menilik beberapa minggu sebelum pelantikan, Prabowo disebut-sebut bakal bakal membentuk zaken kabinet sebagai orang-orang yang menjadi pembantunya. Namun menjadi perdebatan karena realisasinya komposisi teknokrat lebih sedikit dari politisi

"Pak Prabowo ingin pemerintahan yang dipimpinnya nanti adalah zaken kabinet, di mana orang-orang yang duduk di kementerian benar-benar ahli," kata Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, Minggu (15/9/2024).

Dari jurnal 'Menapaki Konstitusional Menuju Zaken Kabinet: Ikhtiar Mewujudkan Pemerintah Berkualitas Konstitusi', zaken kabinet sendiri merupakan kabinet ahli yang diisi profesional dan ahli sesuai bidangnya. Kabinet yang disebut juga business cabinet pernah diterapkan pada Kabinet Natsir tanggal 6 September 1960.

Salah satunya adalah Sjafruddin Prawiranegara mengisi pos Menteri Keuangan, sedangkan Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Natsir yang kala itu kader Masyumi tak memasukkan PNI dalam kabinetnya. Padahal kursi partai tersebut jadi terbesar kedua dalam parlemen.

Kabinetnya diisi oleh partai-partai kecil PSI, PSII, PIR, Parindra, Partai Katolik, dan Fraksi Demokrasi. Kader PNI Wilopo juga dilaporkan ingin membentuk hal serupa dengan mengajak PSI, PSII, Parkindo, Parindra, Masyumi, Partai Katolik dan Partai Buruh. Meski hal ini dibantah dan dijelaskan meski berasal dari partai politik, jangan dilihat nama-nama yang menjadi menteri bukan ahli di bidangnya.

Sejumlah pakar dari berbagai lembaga penelitian hingga kampus memberikan analisis khusus gemuknya kabinet Prabowo. Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) dari total 108 kabinet itu memiliki latar belakang politikus dengan proporsi 55,6% atau 60 orang dari 108 kandidat yang telah dipanggil.

Proporsi profesional teknokrat hanya sebesar 15,7% atau 17 dari 108 calon. Kemudian disusul kalangan TNI/POLRI (8,3%), pengusaha (7,4%), tokoh agama (4,6%), dan selebriti (2,8%). Sayangnya, hanya 5,6 persen yang berasal dari kalangan akademisi.

Para peneliti Celios juga mencatat besarnya potensi pembengkakan anggaran untuk membiayai gaji para kandidat pejabat negara itu. Potensi pembengkakan belanja itu dengan membandingkan jumlah 108 kandidat dengan kabinet era Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang hanya 51 orang.

"Semakin banyaknya wakil menteri yang diangkat berarti akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, hingga pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri tersebut," kata Peneliti Celios, Galau D. Muhammad, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (17/10/2024).

Celios memperkirakan adanya potensi pembengkakan anggaran hingga Rp 1,95 triliun selama lima tahun ke depan akibat koalisi gemuk. Angka ini belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.

Potensi pembengkakan anggaran itu memperhitungkan beban biaya gaji, tunjangan, dan operasional menteri dan wakil menteri era Jokowi yang sebanyak 51 orang dengan estimasi nilai Rp 387,6 miliar per tahun. Sedangkan era Prabowo dengan estimasi 108 orang menjadi Rp 777 miliar per tahun.

Dengan begitu ada peningkatan anggaran Rp 389,4 miliar per tahun dari kabinet era Jokowi dengan Prabowo setiap tahunnya. Maka, bila peningkatan anggaran itu dikali lima tahun atau selama masa jabatan Presiden Prabowo total peningkatan anggaran sekitar Rp 1,95 triliun.

"Estimasi ini adalah perhitungan sederhana dengan memperkirakan besaran anggaran jabatan tersebut belum termasuk biaya pembangunan fasilitas gedung baru. Angka yang lebih presisi dapat dihitung lebih detail setelah terbentuknya kementerian yang baru," kata Direktur Keadilan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar.

Selain beban fiskal, ekonom senior pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang juga merupakan Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini mengatakan, koalisi gemuk Prabowo yang didominasi politikus dari berbagai partai politik parlemen juga berpotensi mengganggu fungsi pengawasan DPR terhadap lembaga eksekutif ke depan.

Sebagaimana diketahui dari 55,6% atau 60 kandidat pengisi kursi kabinet Prabowo yang terafiliasi dengan partai politik, mayoritas atau 26,7% nya dari Partai Gerindra, 24,4% dari Golkar, 9% dari Demokrat, 9% dari PAN, 9% dari PKB, 7% dari PSI, 5% dari Gelora, 4% dari PBB, 2% dari PPP, 2% dari Partai Garuda, dan 2% dari Partai Prima.

Sebagaimana diketahui partai politik yang menguasai Parlemen untuk periode 2024-2029 yakni PDIP 110 kursi, Golkar 102 kursi, Gerindra 86 kursi, Nasdem 69 kursi, PKB 68 kursi, PKS 53 kursi, PAN 48 dan Demokrat 44 kursi.

"Kelak DPR juga tidak berfungsi dengan bagus, karena koalisi gemuk memungkinkan peran DPR menjadi lemah," ucap Didik dalam seminar bertajuk 'Koalisi Gemuk dan Antisipasi Kebocoran Anggaran.'

Sementara itu, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengingatkan, Ketika tidak ada kekuatan yang mampu menantang atau mempertanyakan kebijakan pemerintah, kebijakan ekonomi yang dihasilkan berpotensi tidak didasarkan pada evaluasi yang menyeluruh, sehingga menghasilkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya negara.

"Tanpa oposisi yang efektif, risiko terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan meningkat. Pemerintahan yang tidak diawasi cenderung lebih rentan terhadap praktik korupsi, nepotisme, dan pemborosan anggaran," kata Achmad.

Ia juga menjelaskan, ketika pemerintahan berjalan tanpa adanya oposisi yang kuat karena mayoritas ditarik ke kabinet dapat menimbulkan keraguan terhadap kualitas tata kelola tersebut, yang berujung pada risiko lunturnya keyakinan investor.

"Jika pemerintahan Prabowo berjalan tanpa oposisi, seperti dalam skenario di mana PDIP masuk ke dalam kabinet, dampak ekonominya bisa sangat signifikan. Seperti yang sudah dijelaskan, tanpa adanya oposisi yang kuat, ada risiko besar bahwa pengawasan terhadap kebijakan ekonomi akan berkurang," ucapnya.

"Keputusan ekonomi dapat diambil dengan lebih cepat, tetapi tanpa adanya kritik atau penyeimbang, kebijakan yang dihasilkan mungkin kurang teruji dan tidak melalui mekanisme checks and balances yang diperlukan," tegas Achmad.


(miq/miq)

Saksikan video di bawah ini:

Prabowo SInggung Kasus 300 T Harvey Moeis: Vonisnya Ya 50 Tahun!

Next Article Prabowo: Kita Harus Berani Menghadapi dan Memberantas Korupsi!

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|