Kiamat Baru Negara Berkembang: Ramai-Ramai Default, Gagal Bayar Utang

3 weeks ago 15

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang gagal bayar alias default negara-negara pasca-pandemi COVID-19 kini mencapai puncaknya. Ghana, Sri Lanka, dan Zambia misalnya, sudah mengakhiri tahun-tahun penyelesaian utang dengan menyakitkan.

Namun, tak hanya mereka saja. Dana Moneter Internasional (IMF) dan sejumlah pihak juga mengutarakan kekhawatiran yang sama di banyak negara berkembang dunia lain.

Kekurangan likuiditas yang berbahaya dapat terjadi di kelompok negara itu. Hal ini dapat menghambat pembangunan, menghambat mitigasi perubahan iklim, dan memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga Barat.

Kesimpulan ini setidaknya terungkap dalam sebuah pertemuan IMF-World Bank di Washington DC, akhir pekan kemarin, sebagaimana dimuat Reuters, dikutip Rabu (23/10/2024). Masalah ini bisa makin memburuk, apalagi jika negara barat, yang juga si pemberi utang, makin enggan mengirimkan uangnya ke luar negeri.

"Ini merupakan tantangan dalam arti bahwa bagi banyak orang, pembayaran utang telah meningkat, pinjaman menjadi lebih mahal, dan sumber eksternal (menjadi) kurang pasti," kata manajer portofolio di RBC BlueBay, Christian Libralato, seperti dikutip Reuters, Selasa (22/10/2024).


Biaya Pelunasan yang Meningkat

Biaya pelunasan utang telah meningkat secara signifikan bagi negara-negara berkembang selama beberapa tahun terakhir. Pembayaran ke China misalnya, menjadi salah satu yang terbesar yang harus dibayar pemerintah negara berkembang.

Data dari kelompok advokasi nirlaba ONE Campaign menunjukkan bahwa pada tahun 2022, sebanyak 26 negara bahkan telah membayar lebih banyak untuk utang luar negeri daripada jumlah dana yang mereka terima dalam bentuk pembiayaan eksternal baru. Negara-negara yang merasakannya antara lain Angola, Brasil, Nigeria, dan Pakistan.

"Banyak yang pertama kali memperoleh akses ke pinjaman obligasi sekitar satu dekade sebelumnya, yang berarti pembayaran besar jatuh tempo tepat saat suku bunga global naik, sehingga pembiayaan kembali yang terjangkau menjadi tidak terjangkau," muatnya.

ONE memperkirakan aliran tersebut berubah menjadi negatif bersih bagi negara-negara berkembang secara keseluruhan pada tahun 2023. Perkiraan ini juga didukung oleh para ahli di Finance for Development Lab.

"Jaring pengaman keuangan sosial global yang dipimpin IMF tidak lagi cukup dalam," kata Direktur penelitian di Finance for Development Lab, Ishak Diwan, yang juga sempat menjabat di Bank Dunia itu.

Diwan mengatakan bahwa meskipun angka resmi lengkap belum tersedia, transfer negatif bersih untuk tahun 2023 dan 2024 kemungkinan lebih buruk. Ia menyebut pendanaan baru dari IMF, Bank Dunia, dan lembaga multilateral lainnya gagal mengimbangi kenaikan biaya.

Bank Dunia dunia telah mengumumkan keinginannya untuk meningkatkan kapasitas pinjaman sebesar US$30 miliar selama 10 tahun. IMF juga memangkas biaya tambahan, menurunkan biaya bagi peminjam yang paling kewalahan sebesar US$1,2 miliar per tahun.

Bank-bank pembangunan juga sudah berusaha keras untuk bekerja sama guna memaksimalkan pinjaman. Seperti Bank Pembangunan Inter-Amerika dan Bank Pembangunan Afrika sedang berada di tengah-tengah kampanye global untuk membuat negara-negara menyumbangkan aset cadangan IMF mereka, yang disebut "hak penarikan khusus", yang menurut mereka dapat mengubah setiap US$1 yang disumbangkan menjadi US$8 dalam bentuk pinjaman.


Negara Maju yang Juga "Kere"

Namun, Bank Dunia dan yang lainnya masih berjuang untuk meyakinkan negara-negara barat agar mengeluarkan lebih banyak uang tunai untuk meningkatkan pinjaman mereka. Masalah anggaran dalam negeri di negara maju menjadi alasan.

Prancis misalnya, terlilit utang dan berencana memangkas bantuan luar negeri sebesar 1,3 miliar euro. Ini juga menyusul pemangkasan yang sama, yang dilakukan pemerintah Inggris di era PM Rishi Sunak.

Sementara itu, diplomat ekonomi utama Departemen Keuangan AS menyerukan beberapa cara baru untuk menyediakan dukungan likuiditas jangka pendek bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah guna mencegah krisis utang. Salah satunya dengan Global Sovereign Debt Roundtable, sebuah inisiatif yang mempertemukan perwakilan dari berbagai negara, pemberi pinjaman swasta, Bank Dunia, dan G20- untuk mencoba mengatasi masalah tersebut.

Namun Ketua Liquidity and Sustainability Facility, sebuah kelompok yang bertujuan untuk menurunkan biaya utang bagi Afrika, Vera Songwe, mengatakan perbaikan saat ini tidak memiliki skala dan kecepatan yang dibutuhkan. Negara ekonomi maju pun terjebak dalam tekanan sistem.

"Negara-negara menghindari...pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur untuk membayar utang mereka," kata Songwe.

"Bahkan di negara-negara ekonomi maju...ada tekanan dalam sistem," tambahnya.


(sef/sef)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Warning! IMF: Pemimpin Dunia Harus Kerja Keras Dongkrak Ekonomi

Next Article Duh! Bank Dunia Bilang 1 dari 4 Negara Berkembang Bakal Lebih Miskin

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|