Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan kembali menjadi sorotan di tengah penurunan daya beli masyarakat.
Sebagaimana diketahui, kenaikan tarif PPN sudah termaktub dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk naik pada Januari 2025 menjadi 12%, dari yang saat ini telah di level 11%. Adapun, PPh badan direncanakan untuk dipangkas dari 22% menjadi 20%. Hal ini dilakukan untuk mendorong daya saing Indonesia.
Menteri Keuangan periode 2014-2016 Bambang Brodjonegoro menegaskan penolakannya terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN, jika dilakukan demi mengkompensasi penurunan pajak penghasilan (PPh) badan.
"Secara prinsip sebenarnya saya kurang setuju. Tapi karena sudah dilakukan, dan kebetulan itu dinyatakan dengan suatu tahapan," ungkapnya dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Rabu (13/11/2024).
Bambang mengungkapkan, saat menjadi menteri keuangan periode pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi, penolakan gencar dia lakukan karena didasari pada tidak adilnya paket kebijakan kompensasi pajak tersebut, karena PPN dikenakan untuk setiap transaksi masyarakat Indonesia, sedangkan PPh Badan hanya dipungut untuk perusahaan menengah dan besar.
"Karena bagi saya, kalau kita menurunkan PPh badan, maka yang mendapatkan manfaat adalah, ya mohon maaf ya, pengusaha-pengusaha menengah besar," ungkap ekonom senior yang sempat menjadi Menteri PPN/Kepala Bappenas periode 2016-2019 itu.
"Sedangkan kalau kompensasinya, kenaikan PPN, itu akan mengena kepada seluruh masyarakat, seluruh penduduk Indonesia yang melakukan transaksi ekonomi. Tidak peduli apakah dia kelas yang paling atas atau kelas yang paling bawah," tegasnya.
Dia juga menilai bila pemerintah tetap memutuskan menaikkan tarif PPN pada 2025 mendatang, maka yang akan terbebani adalah daya beli masyarakat. Padahal, daya beli masyarakat saat ini tengah tertekan karena maraknya PHK hingga membuat kelas menengah di Indonesia banyak yang turun kasta.
Pemutusan hubungan kerja per September 2024 berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan memang telah membengkak, menjadi 52.993 tenaga kerja di Indonesia, naik 25,3% dari periode September 2023 sebanyak 42.277 tenaga kerja. Dibanding Agustus 2024 naiknya 14,6% karena saat itu sebanyak 46.240 tenaga kerja yang ter-PHK.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty menilai pemerintah benar-benar meninjau ulang rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Dia meyakini apabila kebijakan itu benar dilaksanakan, maka dampak terhadap daya beli masyarakat akan sangat besar.
"Kebijakan PPN tahun depan perlu ditinjau banget, karena itu sangat berpengaruh ke daya beli masyarakat," ujar dia.
Sebagai catatan, rencana kenaikan PPN tersebut sudah diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pertengahan Agustus lalu. Dia mengatakan kenaikan tersebut menjadi amanat Undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Namun pada Oktober lalu, Airlangga mengatakan presiden Prabowo Subianto tak membahas kenaikan PPN 12% saat mengumpulkan kabinet Merah putih di Magelang 24-27 Oktober 2024. Dia juga tak bisa memastikan keputusan pemberlakukan apakah akan ditunda atau tidak.
"Nanti kita lihat ya, nanti kita bahas," tegas Airlangga.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: 2025 Warga RI Hadapi Banyak "Beban", PPN Jangan Naik Jadi 12%
Next Article Tak Ada Pembatalan, PPN Naik Jadi 12% di 2025 Sesuai UU!