Nasib Miris Warga Tionghoa: Tak Boleh Imlek Gegara Dianggap Ancaman

1 day ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini masyarakat Tionghoa di Indonesia bisa merayakan Imlek secara bebas. Kondisi ini berbeda dengan belasan tahun silam saat mereka tidak bisa merayakan Imlek karena dilarang oleh negara. 

Periode kelam ini terjadi dalam kurun 1968-1998 atau saat Presiden Soeharto berkuasa. Larangan ini bermula prasangka buruk Soeharto terhadap China yang identik dengan komunisme. Jadi, dia menganggap China dan semua keturunannya berbahaya, termasuk mereka yang berada di Indonesia sejak lama.

Alhasil, Soeharto ingin orang-orang Tionghoa melakukan asimilasi dengan kebudayaan pribumi atau warga asli Indonesia. Sebagai catatan, sentimen Soeharto itu juga membuat orang Tionghoa di Indonesia dikategorikan sebagai non-pribumi.

Merujuk Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon dalam Chinese Indonesians Reassessed (2013), Soeharto bahkan menganggap kebudayaan China dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang wajar terhadap Warga Negara Indonesia.

Beranjak dari prasangka inilah, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Intinya, aturan tersebut melarang apapun yang berbau China bebas disuarakan di Indonesia. Mulai dari penggunaan bahasa Mandarin, lagu-lagu, hingga perayaan Imlek.

Sosiolog Mely G Tan dalam Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menyebut kebijakan tersebut melanggar hak asasi mengenai ekspresi kebudayaan suatu kelompok. Dalam hal ini kebudayaan Tionghoa jelas membuatnya terhapus.

Padahal, merujuk tulisan Chinese Indonesians Reassessed (2013), perayaan Imlek sudah jadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum Soeharto berkuasa. Tiap kali Imlek, orang-orang lintas etnis merayakan dengan sumringah. Etnis Tionghoa pun bisa dengan bebas pergi ke tempat ibadah.

Namun, sejak aturan itu keluar, mereka tak lagi bisa melakukan hal sama secara bebas. Jika ingin tetap merayakan Imlek, mereka harus diam-diam melakukannya. Tentu, itu dilakukan tanpa diberi hari libur seperti sekarang.

Bahkan, kata 'Imlek' sendiri pun lahir dan diciptakan di masa Orde Baru sebagai bentuk penyesuaian tata bahasa. Sebab, di China, perayaan ini lazim disebut Sin Cia, diambil dari bahasa Mandarin yang saat Orde Baru dilarang. Atas dasar inilah, kata 'Imlek' hanya ada di Indonesia.

Selain itu di imlek, ruang gerak etnis Tionghoa cukup terbatas. Para seniman tak bisa menampilkan pentas seni berbau kebudayaan Tionghoa. Lalu, untuk sekedar keperluan administrasi kependudukan juga berlaku hal sama. Mereka harus melampirkan bukti yang menyatakan mereka benar-benar warga Indonesia.

Beruntung aturan diskriminasi tersebut berakhir saat Orde Baru runtuh. Di awal reformasi, Presiden B.J Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan aturan yang mencabut seluruh aturan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan Soeharto.

Orang Tionghoa bisa mengekspresikan kembali kebudayaannya secara bebas, termasuk juga perayaan Tahun Baru Imlek. Meski begitu, diskriminasi terhadap orang Tionghoa tidak serta merta hilang begitu saja karena sudah telanjur mengakar.


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: China Cetak Rekor Perjalanan Mudik Saat Imlek

Next Article Video: Jika Eksis di Orde Baru, Lagu Bernadya Dibenci Pemerintah

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|