Trump Menang, Dolar Ngamuk! Rupiah Mampu Bertahan? Ini Jawab BI

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia-Amukan dolar Amerika Serikat (AS) menjadi tidak terbendung setelah Donald Trump memenangkan Pemilihan Presiden. Aliran modal asing kembali pulang ke AS dan nyaris semua mata uang di dunia termasuk rupiah dibuat tak berdaya.

"Perubahan politik di AS tersebut telah berdampak pada menguatnya mata uang dolar AS secara luas, serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers, dikutip Kamis (21/11/2024)

Aspek pertama dari kebijakan Trump yang terus dicermati BI itu, kata Perry, sangat berisiko menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia menurun. Perry memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia yang seharusnya pada 2025 bisa naik dari lebih tinggi dari level 3,2% tahun ini berpotensi turun ke 3,1%.

Sementara itu, Trump ia katakan juga akan mengambil kebijakan ekonomi dan politik di negaranya sendiri dengan fokus mendorong pertumbuhan melalui pemangkasan pajak orang pribadi maupun perusahaan. Untuk pajak orang pribadi ia katakan berpotensi dipangkas ke level 3% dan korporasi flat di level 21%.

"Nah termasuk juga kebijakan yang imigrasi maupun geopolitik. Dan kepada ekonomi yang di dalam negeri kebijakan Presiden Trump itu adalah memberikan tax cut, personal tax cut, maupun corporate tax cut untuk dorong pertumbuhan ekonomi," ucap Perry.

Sorotan kedua, terkait dengan potensi inflasi di AS yang penurunannya akan lebih lambat, imbas dari fokus kebijakan Trump yang akan terus mendorong laju pertumbuhan ekonomi AS. Ia mengatakan, Inflasi AS akan turun melambat ke level sasaran bank sentralnya di sekitar 2% dari yang sekarang di kisaran 2,7%.

Kondisi itu berakibat pada semakin sempitnya Bank Sentral AS, yakni The Federal Reserve untuk mempercepat laju penurunan suku bunga kebijakannya atau Fed Fund Rate. Perry memperkirakan BI hanya akan memangkas suku bunga kebijakannya sebesar 25 basis points (bps) pada Desember 2024, dan pada 2025 hanya sebesar 50 bps dari perkiraan semula sebesar 75-100 bps.

"Perkiraan kami terkini kemungkinan FFR masih akan turun 25 bps di Desember. Tapi, untuk tahun depan yang kami perkirakan semula turun 75-100 bps perkiraan kami terkini hanya turun 50 bps, dua kali saja ke depan," terangnya.

Adapun sorotan ketiga terkait dengan potensi defisit fiskal pemerintahan AS yang akan semakin lebar ke depan di bawah pemerintahan AS. Menurut Perry, Trump akan membawa defisit APBN AS ke level 7,7% dari PDB nya, dari sebelumnya hanya bergerak di kisaran 6,5% PDB.

Sorotan ketiga ini, akan mempengaruhi permasalahan di aspek yang keempat, yakni tingginya imbal hasil surat utang pemerintah AS ke depan karena besarnya kebutuhan pembiayaan APBN. Permasalahan ini akan membuat aliran modal asing akan lebih banyak masuk ke AS ketimbang menyebar luas ke negara-negara ekonomi berkembang, seperti Indonesia.

Ia mengatakan, permasalahan keempat ini telah terlihat dari mulai terkerek naiknya tenor US Treasury (UST) Bill pemerintah AS untuk tenor 2 tahun dan 10 tahun beberapa hari terakhir. Padahal, sebelum Trump menang, trennya kata Perry yield atau imbal hasil UST tengah menurun.

"Prediksi kami UST yang sekarang note 2 tahun tempo hari pernah 3,7%-3,8% sekarang sudah 4,3% dan kemungkinan naik jadi 4,5% tahun depan. Yang 10 tahun tempo hari sudah turun, sekarang sudah naik ke 4,4%, dan tahun depan ke 4,7% karena memang kebijakan fiskal yang ekspansif utangnya pemerintah as akan lebih banyak," tegas Perry.

Seretnya aliran modal asing ke depan berdampak pada risiko kelima dari pemerintahan Trump, yaitu masuknya dolar AS ke dalam equilibrium atau keseimbangan baru. Perry mengatakan, hal ini tentu akan juga mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah ke depan masuk ke dalam level keseimbangan baru.

Indeks dolar AS, yakni DXY sebelum Trump naik takhta sebetulnya tengah dalam tren penurunan dari level 103 ke level 101. Setelah Trump menang Pilpres pada awal November 2024 membuat dolar AS ke level 106, bahkan telah bergerak ke posisi 106,5.

Bagaimana Nasib Rupiah?

Perry menyadari, tekanan dolar AS terhadap rupiah semakin besar. Meski demikian, BI akan melakukan stabilitasi dengan baik sehingga tekanan yang muncul bisa diredam. Secara fundamental bahkan rupiah ada kecenderungan menguat.

"Rupiah masih akan tetap cendeurng menguat secara fundamnetal, tempo hari sudah 15.200 bahkan tembus 15.000 pada saat dolar indeksnya 102 atau 101," jelasnya.

BI meminta investor tetap tenang di tengah tingginya ketidakpastian global yang mengguncang pasar keuangan. BI memastikan pasokan dolar Amerika Serikat (AS) cukup untuk memenuhi kebutuhan, termasuk dalam intervensi menjaga stabilitas nilai tukar.

"Keberadaan kecukupan dolar AS masih cukup," ungkap Deputi Gubernur BI Destry Damayanti.

Kecukupan dolar AS, kata Destry bisa dilihat dari posisi cadangan devisa Indonesia akhir Oktober 2024 tercatat tinggi sebesar 151,2 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Di samping itu, realisasi SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp968,82 triliun, US$ 3,39 miliar, dan US$387 juta per 18 November 2024. "SVBI tercatat keniakan signifikan," jelasnya.

Pelemahan rupiah, menurut Destry merupakan dampak dari situasi global khususnya Amerika Serikat (AS). Perkasanya dolar AS menghantam hampir seluruh mata uang dunia, tak cuma rupiah. Meski demikian, rupiah masih tidak separah mata uang negara lain.

Dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2023 maka rupiah hanya mengalami depresiasi sebesar 2,74%. Jauh lebih baik dibandingkan dengan Dolar Taiwan, Peso Filipina dan Won Korea dengan kisaran 5-7%

"Secara fundametnal sih kami cukup confidence dan kami harap ini tentu temporary dan makanya BI akan terus di market beri confidence di pasar," terang Destry.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro melihat tekanan terhadap rupiah membuat BI sulit untuk menurunkan suku bunga acuan. Langkah promarket BI diharapkan bisa mengantisipasi sentimen negatif yang muncul..

"Kami melihat BI masih memiliki ruang untuk memangkas BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75% pada akhir tahun ini jika pasar keuangan stabil," kata Andry.

Harapan masuknya aliran modal ke dalam negeri justru datang dari kemungkinan The Fed kembali menurunkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate sebelum tutup tahun.

"Hal ini akan meningkatkan potensi lebih banyak modal yang kembali ke pasar domestik; karenanya, kami memperkirakan USD/IDR dapat mencapai kisaran 15.400-15.700 per USD pada akhir tahun 2024," ujarnya.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG & Rupiah Kompak Menguat

Next Article Jika Dolar Tembus Rp 20.000, Begini Nasib RI

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|